Pernah mengalami buku Anda diobral hingga setengah harga jual atau bahkan seperempatnya? Kejadian yang tidak diinginkan para penulis ini pun menimpa saya. Bahkan, saya mengalami buku diobral sampai seperempat harga!
Jika Anda mengalaminya, camkan saja bahwa penjualan setengah harga masih menyisakan profit bagi penerbit sedikit dan itu juga dilakukan untuk (biasanya) menghabiskan stok. Jika buku Anda dijual dengan diskon 70%, bisa juga karena cuci gudang sisa stok atau karena buku Anda memang sudah tak laku-laku (penerbit sudah mati akal untuk menjualnya). Penerbit hanya berharap ongkos cetak yang sudah dikeluarkannya bisa kembali (biasanya 20-25% harga buku). Hal ini masihlah “bukuwi” daripada kemudian ditimbang dan dihitung per kilo.
Lucunya, kerap terjadi buku-buku obral itu (baik karya saya maupun orang lain) saya beli kembali banyak-banyak, lalu di event-event pelatihan yang saya isi, saya menjual lagi buku-buku tersebut dengan harga aslinya dan biasanya ludes. Asumsi saya bahwa buku tidak laku karena tidak berjumpa dengan pembeli potensialnya berlaku :). Di sinilah tampak bahwa sebuah buku yang tidak laku, padahal punya topik dan segmen pembaca spesifik, sebenarnya masih memiliki daya jual jika memang penerbit jeli. Namun, memang mana ada waktu penerbit mau meneliti bukunya satu per satu di antara mungkin ratusan judul yang tersisa.
Satu hal yang patut menjadi perhatian juga tentang hak penulis terhadap buku-buku obral tersebut. Jarang memang penerbit mencantumkan klausul buku obral pada perjanjian penerbitan, padahal soal ini juga penting untuk keadilan bagi penerbit dan juga tentunya penulis. Artinya, dalam periode penjualan tertentu apabila buku tidak terjual sesuai dengan target, penerbit pun berhak menjual buku dengan harga obral. Untuk kejadian itu, royalti yang dibayarkan pun akan mengikuti royalti harga obral tanpa membebani penerbit.
Namun, yang sering terjadi ya seperti the show mas gogon …. Obral dilakukan, tetapi penerbit tidak melaporkan ke penulis dan laporan yang pasti adalah tidak ada royalti lagi alias terasa hubungan langsung diputus. Ya, soalnya buku nggak laku mau diapain lagi. Penulis tinggal mengurut dadanya dan memaklumi.
Jika dulu obral dilakukan paling tidak dalam rentang tiga tahun buku tidak habis atau bersisa banyak, sekarang makin “mengharukan”. Buku bisa diobral pada tahun yang sama saat diterbitkan. Artinya, begitu tega buku baru itu sudah dinyatakan bad stock atau dead stock. Lalu, pertanyaannya: Untuk apa para editor meloloskan naskah yang sudah berbau tidak laku itu atau mengapa penerbit oke-oke saja menerbitkannya? Ya, tanya saja pada “rumput yang bergoyang”.
Istilah di-YusufAgency-kan memang sempat populer di kalangan penggiat industri buku. Artinya, buku-buku yang memang sudah tak mempan dipromosikan atau ditawarkan akhirnya harus mau berpindah ke gudang Yusuf Agency–distributor spesialis buku obral dengan tagline yang bagus “Buku Termurah Se-Indonesia”. Konon Pak Yusuf tak lagi membeli dalam hitungan per eksemplar, tetapi hitungan satu truk. Hebatnya, Pak Yusuf bisa tahu di mana ia bisa menemukan pembeli buku-buku obral itu yang kadang harganya ditentukan dengan cara mencium bau bukunya–joke yang selalu dilakukan Pak Yusuf ke pembelinya :D.
Saya menyerap ilmu Pak Yusuf saja. Saya mencari buku-buku obral yang kira-kira bisa saya kompori untuk dibeli di acara-acara saya dan saya kembalikan martabat buku itu dengan menjual pada harga asalnya. Hanya pada buku bisa dilakukan seperti itu. Kalau baju, ya nggak mungkin. Hehehe.
Copyright 2014 oleh Bambang Trim, praktisi perbukuan Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H