Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Keliru Abai Tata Bahasa Saat Menulis

5 April 2016   18:14 Diperbarui: 5 April 2016   18:23 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pandangan soal bagaimana seseorang bisa terampil menulis memang bermacam-macam. Ada teknik yang disebut free writing yaitu menulis sebebas-bebasnya agar seseorang merdeka pikirannya dari teori menulis, apalagi tata bahasa. Kemudian, beberapa orang mengutip saran penulis tersohor yang memberi tip untuk tidak terlalu memikirkan tata bahasa.

Jika pandangan tersebut dimamah oleh penulis pemula, mungkin yang terpikir bahwa tata bahasa tidaklah penting untuk menjadikan mereka penulis yang andal. Jika diselisik lebih jauh, pandangan tersebut adalah bagian proses menulis yang disebut drafting. Draf dalam bahasa Indonesia sering juga diistilahkan dengan 'buram'. Artinya, sekadar coretan atau konsep yang belum benar-benar jadi--sering juga disebut naskah mentah.

Pada proses drafting, penulis memang disarankan untuk melupakan segala teori menulis, termasuk tata bahasa agar mereka tidak tersendat-sendat menulis hanya demi menjaga konsistensi terhadap kaidah kebahasaan, apalagi pada tulisan nonfiksi. Hal yang sering disarankan adalah menulis saja apa yang terpikirkan, termasuk susunan kalimat dan paragraf. Bahkan, para penulis dilarang membaca tulisannya dari awal sebelum ia menyelesaikan utuh satu tulisan atau satu bab.

Mengapa? Kurikulum menulis, terutama di Dunia Barat memang menerapkan sebuah proses, yaitu prewriting-drafting-revising-editing-publishing. Penulis diberi peluang melakukan revisi dan editing pada waktunya. Bahkan, mereka pun sudah dibekali ilmu yang disebut self-editing(swasunting). Pada saat editing itulah, penulis berkonsentrasi pada tata bahasa, termasuk juga persoalan legalitas, kesopanan, serta ketelitian data dan fakta.

Proses menulis itu menekankan agar para penulis tidak langsung mengirimkan tulisan mereka untuk dipublikasikan. Benar bahwa editor penerbit lebih melihat kekuatan ide daripada kekuatan mengolah bahasa. Namun, bahasa yang buruk juga dapat menghilangkan selera editor untuk merekomendasikan naskah.

Kurikulum menulis di negeri ini justru tidak mengajarkan proses tersebut. Pelajaran mengarang/menulis lebih banyak dijejali teori, termasuk penjenisan karangan/tulisan yang kadang malah membuat pening. Pengalaman saya memberikan pelatihan penulisan artikel populer untuk guru-guru SMA/SMK bidang studi bahasa (Indonesia dan Inggris) se-Jabodetabek memperlihatkan justru minimnya pengetahuan guru terhadap tata bahasa praktis yang digunakan dalam penulisan.

Jadi, tata bahasa tidak dapat diabaikan dalam tata tulis karena bahasa menjadi pengantar utama ide-ide seorang penulis. Perhatikan saja bagaimana seseorang menulis di media massa atau blog pewarta warga seperti Kompasiana ini, begitu banyak penulis yang tidak melakukan swasunting, lalu mengeposkan tulisan mentahnya. Akibatnya, salah tik, salah bahasa, salah penulisan nama orang atau nama tempat, dan salah lainnya bertaburan. Bahkan, fasilitas editing yang tersedia pun tidak digunakan.

Salah tik dalam bahasa Indonesia sangat berbahaya, tidak seperti kosakata bahasa Inggris misalnya. Salah tik dalam bahasa Indonesia bisa menimbulkan arti lain. Contohnya, ketikamenjadi ketiak; perbesaranmenjadi persebaran; kerasmenjadi kera; tarikmenjadi taik. Itu baru salah tik, belum benar-benar salah ejaan, salah kata berimbuhan, salah kalimat, dan salah paragraf.

Tata bahasa Indonesia memang tergolong rumit. Namun, ada acuan praktis yang bisa dipelajari penulis, tidak melulu soal Pedoman Umum EYD meskipun kesalahan terbanyak juga terjadi pada ejaan. Terbiasa menerapkan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar atau dalam konteks formal yang baku tentu akan menjadi pelajaran penting bagi pembaca.

Lucu jika ada tulisan tentang bagaimana menulis justru menyebarkan begitu banyak kesalahan tata bahasa. Lalu, sang penulis berlindung: "Kata penulis terkenal anu, abaikan saja tata bahasa saat menulis."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun