Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buku Murah yang Tetap "Mahal"

11 Desember 2015   22:21 Diperbarui: 11 Desember 2015   22:29 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Tengah Desember 2015, sayang saya tak bisa mengunjunginya. Firasat saya mengatakan bahwa di sana bertabur buku-buku murah yang "mahal". Anda yang di Jakarta dan kebetulan kutu buku pastilah tahu ada acara Kompas-Gramedia Fair (KGF) di JCC Jakarta yang mengumbar banyak buku bagus berharga kardus.

Saya tak bisa hadir karena harus memberi pelatihan menulis buku ilmiah untuk para dosen di Universitas Muhammadiyah Malang hingga Minggu. Namun, saya bisa merasakan kemeriahan berburu buku sebab buku telah menjadi "kemewahan" bagi orang-orang kota. Sebaliknya, buku menjadi kebutuhan bagi orang-orang di desa atau kampung.

Ya, di kota meski daya beli orang-orangnya tinggi, apalagi mereka yang dicap kelas menengah, entah mengapa minat membelinya tidak terlalu kencang. Faktanya penjualan buku di toko-toko buku mulai menurun. Ajang seperti KGF yang mendiskon habis buku-buku bagus kadang membuat kalap mereka yang punya waktu sekaligus punya uang di kota. Minat mereka dibangkitkan dengan tebaran buku-buku berharga murah.

Buku murah itu tetap saja bagi saya "mahal", ya mahal kontennya. Saya sering mendapatkan buku-buku yang sebenarnya isinya luar biasa, tetapi tidak bersua dengan pembaca potensialnya. Alhasil, buku itu "mati" dalam pajangan atau terpuruk di rak-rak buku. Kadang buku-buku itu adalah hasil terjemahan yang ditulis penulis hebat kelas dunia karena meramu konten dengan riset.

Beberapa kutu buku memang memaklumi seni berburu buku di arena-arena pameran atau pesta diskon semacam KGF. Rahasia saja. Saya pernah memborong buku di pameran dari penerbit Gramedia. Buku itu dibandrol Rp7.500/eksemplar. Lalu, buku itu saya jual kembali di acara pelatihan saya. Mau tahu harganya?

Saya kembalikan ke harga normalnya (lebih dari Rp20.000). Alasannya? Saya mengembalikan marwah buku itu kepada pembacanya yang "lapar". Ya, cukup dengan memberi testimoni untuk buku tersebut. Begitu selesai, buku langsung diserbu.

Jadi, buku-buku yang diobral itu sebenarnya masih punya kekuatan jika dipertemukan dengan calon-calon pembacanya yang potensial di seluruh Indonesia. Namun, tentu harus ada ambasador untuk itu yang mendorong orang membacanya. Tentulah tidak mungkin penerbit menggaji para ambasador ini karena buku bukanlah produk consumer good seperti sabun atau sampo.

Pada akhirnya, saya harus salut dengan "kekeraskepalaan" para penerbit yang tetap menerbitkan buku meskipun pada ujungnya harus diobral. Jangan-jangan 90% buku yang diterbitkan di Indonesia ini memang ditakdirkan pada akhirnya harus diobral. Itu yang membuat pameran buku tetap semarak. Jika memang ke-koppig-an penerbit ini berubah menjadi gila atau saraf, tentulah obral buku itu dibuat layaknya Harbolnas dengan diskon 80%+12%+21%.

Hehehe. Memang lebih baik di Indonesia gempar dengan "Papa Minta Buku" atau "Mama Minta Buku". Soalnya, Papa dan Mama sadar meski buku murah, ia tetap "mahal" sebagai warisan ilmu pengetahuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun