Di salah satu grup WA mengalir ucapan selamat kepada Prof. Endang Aminudin Aziz yang kerap disapa Prof. Amin. Sebelumnya mantan Atase Dikbud di Inggris itu memimpin Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa sejak 2020. Lalu, tahun 2024, Prof. Amin menjadi Plt. Kepala Perpustakaan Nasional RI menggantikan Syarif Bando yang pensiun.Â
Ia sempat merangkap dua jabatan sejak 2024. Prof. Amin punya rekam jejak menggiatkan literasi berbasis buku di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kini Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dijabat oleh Hafidz Muhsin, S.Sos., M.Si.
Pelantikan Prof. Amin sebagai pejabat definitif Kepala Perpusnas RI baru saja dilakukan pada 7 Januari 2025 oleh Mendikdasmen, Abdul Mu'ti. Bagi yang belum paham betul, Perpustakaan Nasional RI atau Perpusnas RI berada di bawah naungan Kementerikan Pendidikan Dasar dan Menengah. Kepala Perpusnas RI merupakan pejabat eselon 1 sehingga setara dengan Direktur Jenderal. Namun, Kepala Perpusnas memiliki kewenangan yang lebih luas karena juga memimpin perpustakaan daerah/kota yang tersebar di semua provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.
Hal itu juga mirip dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang berada di bawah naungan Kemendikdasmen. Kepala Badan Bahasa juga membawahkan balai dan kantor di provinsi seluruh Indonesia. Logo Badan Bahasa masih mirip dengan logo Kemendikdasmen.
Perpusnas dan Lagi-lagi Soal ISBN
Di antara kabar dan ucapan selamat pelantikan Prof. Amin, menyempil juga pertanyaan soal ISBN atau International Standard Book Number. Sebuah penerbit mengeluhkan lamanya ia menerima ISBN setelah amprah (pengajuan) pada akhir November dan diterima awal Desember 2024. Saat itu ia menerima informasi sedang ada perbaikan sistem pada 16--31 Desember sehingga pengajuan belum dapat diproses lebih lanjut.
Salah satu titik yang menjadi tantangan bagi Perpusnas dalam mengelola sistem ISBN karena verifikasi masih dilakukan oleh tenaga manusia. Verifikasi ISBN tidak terkait dengan mutu buku, tetapi terkait dengan administrasi berkas, seperti pernyataan keaslian karya, identitas buku, dan surat pengajuan. Sangat mungkin dari verifikasi masih terdapat kekurangan atau kesalahan sehingga penerbit akan menerima notifikasi untuk melakukan revisi.
Verifikasi manual tentu sangat bergantung pada jumlah verifikator di Perpusnas RI sehingga seperti pada akhir tahun mereka harus bekerja lebih lama karena menumpuknya amprahan ISBN dari penerbit. Ada penerbit yang dapat bersabar menanti, tetapi adanya juga yang terdesak tenggat harus terbit bulan depan.
Atas keluhan itu, ternyata Prof. Amin langsung merespons untuk mengonfirmasi pengajuan ISBN yang masih tertunda. Namun, tentulah Prof. Amin walaupun sudah menjadi Kepala Perpusnas RI definitif tidak akan dapat mengurusi satu per satu soal ISBN yang belum keluar itu.
Perpusnas RI perlu menimbang penggunaan teknologi untuk verifikasi ISBN sehingga dapat mempercepat proses pengajuan. Data Perpusnas menunjukkan rata-rata buku berbasis ISBN yang diajukan itu 40.000 judul per tahun. Bayangkan jika judul itu terus bertambah dan verifikasi masih dilakukan secara manual, tentu akan semakin kewalahan dan terjadi penumpukan pada akhir tahun.
Salah seorang pejabat di salah satu kementerian sempat bertanya juga kepada saya perihal pengajuan ISBN 2024. Ia bertanya apakah masih dapat mengajukan pada Desember 2024. Saya pun menjawab biasanya di akhir tahun itu ada perbaikan sistem dan penyiapan laporan sehingga mungkin ada jeda untuk tindak lanjut pengajuan.Â