Perkara ini tidak terjadi di negeri Konoha atau negeri antah berantah. Perkara ini terjadi di Indonesia tercinta dengan IKN bakal ibu kotanya. Di IKN kelak mungkin bercokol juga para penulis dan penyunting (editor) yang bekerja di sana sebagai penulis dan penyunting kosmopolitan. Maka dari itu, saya heran mengapa Presiden Jokowi tidak membawa penulis dan penyunting plesiran ke IKN.
Semakin hari ternyata semakin banyak penulis yang lahir, menjelmakan dirinya sebagai penulis dengan berbagai karya, bahkan termasuk buku yang dianggap sebagai karya tulis paling elite. Kemudahan publikasi, bahkan tanpa kurasi, mendorong kelahiran penulis itu mirip air bah.Â
Kelahiran penulis berbanding terbalik dengan kelahiran para penyunting atau editor. Ada banyak orang ingin menjadi penulis, tetapi tak banyak orang yang ingin menjadi penyunting. Bahkan, ditengarai mereka yang menjadi penyunting karena memang belum mendapat kesempatan bekerja pada bidang yang mereka idamkan.Â
Beberapa penyunting menjadikan profesi penyunting sebagai lompatan karier, misalnya kelak mereka ikut penerimaan ASN. Beberapa yang lain terkena "kutukan penerbit", yakni setelah menjadi penyunting malah kerasan bekerja di bidang itu dan tidak mampu berpindah ke lain hati, kecuali ke lain penerbit.
Kelahiran penulis juga disebabkan oleh maraknya gerakan menerbitkan buku sendiri (self-publishing) dan menerbitkan buku dengan membayar (vanity publishing) sehingga menjadikan menulis buku bukan lagi sekadar impian. Meskipun mereka menulis buku apa adanya atau seadanya, tetap saja memantik kebanggaan karena bukunya sudah terbit, bahkan ber-ISBN.
Mereka kurang tahu bahwa ISBN tidak ada hubungannya dengan mutu buku. Administrator ISBN, yaitu Perpusnas hanya memverifikasi dokumen ISBN dan anatomi buku sesuai dengan seharusnya. Bukunya itu jelek atau tak layak, tetap saja diberi ISBN jika memenuhi syarat administrasi dan bentuk buku.
Kemudahan yang Melenakan
Kemudahan menerbitkan karya saat ini memang tidak seperti dekade 1980--1990-an ketika penulis harus setengah mati mengirimkan karya ke media massa lalu menunggu harap-harap cemas karyanya dimuat. Kemudahan memublikasikan karya tulis pada saat ini, bahkan nyaris tanpa kurasi menjadikan penulis terlena. Itulah penulis pena terlena.
Saat kuliah tahun 1991, saya menulis artikel beberapa kali, tetapi sukses ditolak hingga tahun 1994. Artinya, tiga tahun saya berusaha menulis, tiga tahun pula ditolak. Satu-satunya media yang menerima karya saya adalah mading di kampus.
Tahun 1994, artikel saya kali pertama muncul di tabloid lokal Mitra Desa di Bandung. Tak lama setelah itu, artikel saya muncul di koran nasional Republika dan juga tabloid Hikmah di Bandung. Rasa sukacita karena mampu menjebol gawang redaksi tingkat lokal dan nasional tidak tergambarkan pada masa itu.
Begitu pula untuk menerbitkan buku. Perjuangan saya sedikit longgar karena saya masuk ke industri buku pelajaran. Alih-alih mengirimkan naskah ke penerbit, saya malah diminta mengerjakan beberapa naskah pesanan penerbit lewat seorang broker naskah. Puncaknya, buku pelajaran yang saya tulis dapat menembus penilaian proyek NTEC (National Textbook Evaluation Comitee) yang didanai oleh Bank Dunia.