Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Penulis yang Tidak Menyunting: Penyunting yang Tidak Menulis

1 Agustus 2024   07:34 Diperbarui: 1 Agustus 2024   12:50 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkara ini tidak terjadi di negeri Konoha atau negeri antah berantah. Perkara ini terjadi di Indonesia tercinta dengan IKN bakal ibu kotanya. Di IKN kelak mungkin bercokol juga para penulis dan penyunting (editor) yang bekerja di sana sebagai penulis dan penyunting kosmopolitan. Maka dari itu, saya heran mengapa Presiden Jokowi tidak membawa penulis dan penyunting plesiran ke IKN.

Semakin hari ternyata semakin banyak penulis yang lahir, menjelmakan dirinya sebagai penulis dengan berbagai karya, bahkan termasuk buku yang dianggap sebagai karya tulis paling elite. Kemudahan publikasi, bahkan tanpa kurasi, mendorong kelahiran penulis itu mirip air bah. 

Kelahiran penulis berbanding terbalik dengan kelahiran para penyunting atau editor. Ada banyak orang ingin menjadi penulis, tetapi tak banyak orang yang ingin menjadi penyunting. Bahkan, ditengarai mereka yang menjadi penyunting karena memang belum mendapat kesempatan bekerja pada bidang yang mereka idamkan. 

Beberapa penyunting menjadikan profesi penyunting sebagai lompatan karier, misalnya kelak mereka ikut penerimaan ASN. Beberapa yang lain terkena "kutukan penerbit", yakni setelah menjadi penyunting malah kerasan bekerja di bidang itu dan tidak mampu berpindah ke lain hati, kecuali ke lain penerbit.

Kelahiran penulis juga disebabkan oleh maraknya gerakan menerbitkan buku sendiri (self-publishing) dan menerbitkan buku dengan membayar (vanity publishing) sehingga menjadikan menulis buku bukan lagi sekadar impian. Meskipun mereka menulis buku apa adanya atau seadanya, tetap saja memantik kebanggaan karena bukunya sudah terbit, bahkan ber-ISBN.

Mereka kurang tahu bahwa ISBN tidak ada hubungannya dengan mutu buku. Administrator ISBN, yaitu Perpusnas hanya memverifikasi dokumen ISBN dan anatomi buku sesuai dengan seharusnya. Bukunya itu jelek atau tak layak, tetap saja diberi ISBN jika memenuhi syarat administrasi dan bentuk buku.

Kemudahan yang Melenakan

Kemudahan menerbitkan karya saat ini memang tidak seperti dekade 1980--1990-an ketika penulis harus setengah mati mengirimkan karya ke media massa lalu menunggu harap-harap cemas karyanya dimuat. Kemudahan memublikasikan karya tulis pada saat ini, bahkan nyaris tanpa kurasi menjadikan penulis terlena. Itulah penulis pena terlena.

Saat kuliah tahun 1991, saya menulis artikel beberapa kali, tetapi sukses ditolak hingga tahun 1994. Artinya, tiga tahun saya berusaha menulis, tiga tahun pula ditolak. Satu-satunya media yang menerima karya saya adalah mading di kampus.

Tahun 1994, artikel saya kali pertama muncul di tabloid lokal Mitra Desa di Bandung. Tak lama setelah itu, artikel saya muncul di koran nasional Republika dan juga tabloid Hikmah di Bandung. Rasa sukacita karena mampu menjebol gawang redaksi tingkat lokal dan nasional tidak tergambarkan pada masa itu.

Begitu pula untuk menerbitkan buku. Perjuangan saya sedikit longgar karena saya masuk ke industri buku pelajaran. Alih-alih mengirimkan naskah ke penerbit, saya malah diminta mengerjakan beberapa naskah pesanan penerbit lewat seorang broker naskah. Puncaknya, buku pelajaran yang saya tulis dapat menembus penilaian proyek NTEC (National Textbook Evaluation Comitee) yang didanai oleh Bank Dunia.

Ada satu sisi yang saya lewati ketika menembus kurasi tulisan di tingkat redaksi atau penilai buku. Sisi itu adalah menyunting dan menyunting---berkali-kali saya lakukan. Dalam konteks penulis, aktivitas itu disebut swasunting (self-editing). Naskah yang ditolak menjadi alasan untuk melakukan swasunting. Lalu, ketika menyiapkan naskah selanjutnya, saya harus yakin benar naskah tersebut sesuai dengan harapan redaktur atau editor di penerbit.

Penulis yang Tidak Menyunting

Di samping menulis itu sendiri, swasunting seyogianya diajarkan juga di sekolah-sekolah mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Hal yang perlu ditanamkan bahwa seorang penulis juga harus melewati proses merevisi dan menyunting naskahnya sendiri, bahkan berkali-kali. 

Sepengalaman saya sebagai dosen di salah satu PTN, sering kali saya memeriksa tugas akhir mahasiswa yang penuh dengan kesalahan-kesalahan mekanis, seperti bahasa, data dan fakta, serta kutipan dan sitasi. Jelas sekali karya tulis itu tidak disunting oleh si mahasiswa. Penyebabnya dapat bermacam-macam. Mungkin karena ia terburu-buru atau mungkin karena si mahasiswa tidak tahu bahwa ia harus melakukan swasunting.

Pelajaran menulis di sekolah-sekolah kita memang jarang memasukkan materi swasunting sebagai bagian dari pelajaran menulis. Guru lebih banyak berorientasi pada produk, yaitu bagaimana siswa menghasilkan produk tulisan seperti yang diminta. Adapun proses menulis dan menyuntingnya tidak teperhatikan dengan baik. Alhasil, kebiasaan swasunting tidak tertanam pada anak didiknya.

Karena itu, kini banyak penulis yang tidak menyunting naskahnya sendiri. Ia menulis naskah sekali jadi lalu dikirimkan ke media massa untuk dipublikasikan. Naskahnya ternyata masih compang camping oleh kesalahan-kesalahan mendasar, bahkan kesalahan substantif. Tentu jika melewati kurasi yang sebenarnya, naskah itu akan sukses berakhir di tempat sampah.

Penulis yang tidak menyunting naskahnya sering kali mengesalkan para penyunting/editor yang bekerja di penerbit. Ada banyak bagian naskah yang membuat penyuntingnya pening, misalnya soal penulisan kata depan di dan kata berimbuhan di-. Masih banyak penulis melakukan kesalahan bahasa yang tampak remeh itu.

Jangan heran jika kebanyakan naskah yang tidak disunting sebelumnya itu akan berakhir dengan penolakan. Seringnya penolakan itu terjadi malah mendorong penulis mencari jalan pintas menerbitkan karyanya sendiri atau yang booming saat ini menerbitkan naskahnya di penerbit lain dengan cara membayar. Cara itu disebut vanity publishing bukan self-publishing seperti yang selama ini keliru ditafsirkan.

Saya tersenyum kecut ketika ada pengiklan jasa penerbitan berbayar itu menuliskan kalimat copywriting yang ampuh: Naskah Anda tidak akan diedit dan langsung terbit. Wow sekali! Penulis dibodohi bahwa naskah tidak perlu diedit, alhasil itu naskah benar-benar dibiarkan terbit tanpa swasunting dan sunting.

Penyunting yang Tidak Menulis

Jangan salah, ternyata banyak juga penyunting di Indonesia yang justru ia tidak menulis. Logikanya memang agak kurang masuk ketika penyunting tidak mampu menulis. Bagaimana si penyunting dapat menyunting tulisan orang lain dengan baik, sementara itu ia sendiri tidak menulis?

Penyunting kenamaan pada masa lalu, sebut saja, seperti Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Pane bersaudara (Sanusi Pane dan Armijn Pane), Mochtar Lubis, J.S. Badudu, Bur Rasuanto, Pamusuk Eneste, Frans M. Parera, dan Mula Harahap adalah juga penulis ulung. Karya kepenulisan mereka sangat bermutu dan diakui, baik dalam bidang fiksi maupun nonfiksi. 

Saya belajar dari mereka bahwa sebelum menyebut diri ini sebagai penyunting andal maka saya harus menjadi penulis andal. Saya merasakan hal itu ketika harus bernegosiasi dan berdiplomasi dengan para penulis kenamaan. Sang penulis respek terhadap saya sebagai penyunting karena saya adalah penyunting/editor yang menulis juga dan mampu menembus kurasi media massa. 

Beberapa pandangan miring penulis terhadap penyunting umumnya disebabkan mereka meremehkan penyunting dapat menulis seperti mereka. Karena itu, bagi saya seorang penyunting harus membuktikan dirinya dapat menulis dan menembus kurasi editor atau penilai sebuah sayembara penulisan. Ia harus memiliki karya yang dibanggakan.

Jangan berani-berani menyunting karya tulis orang lain dan memberikan saran, bahkan konsultasi, sementara si penyunting belum pernah menghasilkan karya tulis seperti itu.

***

Tak kenal maka tak membaca. Tak membaca maka tak menulis. Tak menulis maka tak menyunting. Tak menyunting maka tak sayang. 

Kelindan kapasitas literasi itu saling mendukung agar literasi tidak sekadar menjadi bualan.

Ada orang yang menulis, tetapi tak merasa perlu membaca, memang luar biasa. Ada orang yang menulis, tetapi enggan menyuntingnya, pastilah sakti mandraguna. Sombong amat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun