Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Menulis dan Gaya Hidup

2 Januari 2024   07:50 Diperbarui: 3 Januari 2024   17:30 1490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agrobacter/Getty Images Signature

Sebuah akun IG memperlihatkan foto-foto dan reel sang pemiliknya dari satu kafe ke kafe lain. Semuanya kafe yang terkesan mewah dan memperlihatkan selera makan yang juga tidak murah. Di akun lain, pemiliknya memperlihatkan foto-foto dan reel dirinya berkelana dari satu warung/kedai makan pinggir jalan yang murah meriah, bahkan viral. Keduanya sama-sama menarik perhatian pengikutnya sehingga berbuah like dan komentar.

Foto-foto dan reel ini muncul sebagai visualisasi gaya hidup berikut sekadar takarir (caption). Bagaimana jika kemudian perihal gaya hidup itu dituliskan sebagai esai atau feature yang ringan? Gaya hidup itu bakal lebih menarik lagi dan kaya imajinasi. 

Di sinilah kemampuan menulis di tangan para pelakon gaya hidup akan sangat berguna. Mereka dapat mengisahkan, mendeskripsikan, bahkan memengaruhi pembacanya. 

Lebih konkret lagi hal ini menjawab pertanyaan mengapa dahulu di SD kita belajar menulis narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Salah satu, salah dua, dan seterusnya dapat digunakan untuk menulis esai/feature tentang gaya hidup.

Esai tentang Gaya Hidup

Judul tulisan ini memang dapat mengandung dua makna. Pertama, apakah menulis (juga) dapat dipandang sebagai gaya hidup? Kedua, apakah gaya hidup itu sendiri dapat dijadikan topik tulisan?

Menulis itu memang sebuah gaya hidup. Namun, maksud saya dalam tulisan ini adalah yang kedua bahwa gaya hidup yang kita lihat, dengar, mungkin juga hirup, bahkan kita lakoni dapat menjadi topik sebuah atau banyak tulisan. Di media massa berkala, rubrik tulisan tentang gaya hidup sering disediakan. Penulisnya seorang profesional atau sekadar menjadi pemerhati tren gaya hidup. 

Sebut saja ada tulisan tentang gaya berbusana (fashion), kebiasaan makan (kulineran), hobi-hobi yang ekstrem, perjalanan ke tempat-tempat menakjubkan, dan juga penggunaan teknologi. Maka dari itu, penulis spesialis gaya hidup tidak bakal kehabisan gagasan sepanjang ia banyak membaca, banyak berjalan-jalan, dan banyak bersilaturahmi.

Konten gaya hidup saat ini sangat diperlukan oleh media agar mereka tidak tertinggal untuk membahas suatu tren yang lagi menggejala di masyarakat. Para pembaca tulisan gaya hidup punya rasa ingin tahu untuk sekadar mendapatkan informasi atau mendapatkan panduan melakukannya seperti orang lain. 

Tulisan gaya hidup harus mampu menarasikan sebuah fenomena kecenderungan/tren yang terjadi di masyarakat, mendeskripsikannya sebagai gambaran yang utuh lalu memersuasi pembaca untuk mendukung gaya hidup itu atau bahkan mengembalikan opini kepada pembaca. 

Sebagai contoh gaya hidup yang dulu saya lihat sebagai kebiasaan di Aceh dan Sumatra pada umumnya beberapa tahun lalu. Anak-anak muda nongkrong di kedai/warung kopi. Mereka ngopi dan ngobrol ngalur ngidul sehingga terdengar seperti dengungan lebah. 

Lalu, kopi dan kebiasaan ngopi naik kelas, tempatnya disebut kafe atau coffee shop. Untuk mendukung gaya hidup, tersedia pula fasilitas wifi dan colokan. Anak-anak muda dibuat betah berada di kafe berjam-jam.

Anak-anak muda makin kesengsem soal kopi setelah ada film Filosofi Kopi yang diangkat dari sebuah cerpen karya Dewi Dee. Beberapa mengikuti kursus barista karena ingin keren menjadi peracik kopi. Lalu, yang namanya produk kopi dan mesin kopi segera saja menjadi perburuan.

Saya ingat beberapa tahun lalu diminta menulis artikel tentang kopi oleh sebuah situs web bernama Bincang Kopi saat ngopi mulai menjadi gaya hidup orang-orang kota. Saya menuliskan lima artikel setiap bulan. Semua tentang gaya hidup ngopi tanpa paste, he-he-he.

Agrobacter/Getty Images Signature
Agrobacter/Getty Images Signature

Menjadi Penulis Gaya Hidup

Anak saya mengoleksi miniatur mobil-mobilan berbahan logam yang sangat populer dari dulu hingga kini. Hobi mengumpulkan mobil-mobilan ini tidak hanya disukai anak-anak, tetapi ternyata juga orang dewasa. Harganya mulai puluhan ribu hingga ratusan ribu, bahkan jutaan. Kok bisa?

Inilah salah satu keunikan dan keajaiban tren gaya hidup. Mungkin Anda masih ingat dahulu orang tergila-gila dan berburu batu akik lalu mengoleksinya. Harga batu akik mencapai nilai yang tidak masuk akal. Orang-orang menyebutnya sebagai monkey business.

Di Jogja ada toko buku unik bernama Buku Akik. Kedigdayaan batu akik ternyata menarik disematkan pada buku agar buku juga diburu orang seperti memburu batu akik pada masa lalu. Mungkin tren mengoleksi batu akik bakal kembali lagi.

Begitu pula hobi mengoleksi tanaman dedaunan. Ada tanaman yang harganya mencapai jutaan, bahkan belasan dan puluhan juta. Bagi mereka yang terpengaruh gaya hidup dan kaya tentu tidak menjadi masalah. Bagi masyarakat kebanyakan tentu geleng-geleng kepala ada yang "tega" membeli daun puluhan juta.

Tren-tren seperti inilah yang walaupun tidak masuk akal atau di luar nurul justru menarik untuk dituliskan. Gaya hidup berhubungan dengan perubahan perilaku pada masyarakat serta pengaruh budaya. Hal ini pula yang berpengaruh terhadap perubahan aktivitas pemasaran. 

Pakar pemasaran membuat kategori marketing 1.0, 2.0, 3.0, 4.0, dan seterusnya. Teori pemasaran dihubungkan dengan perubahaan gaya hidup dan perilaku masyarakat. Karena itu, pendekatan yang digunakan pun berbeda pada setiap zaman.

Menariknya, gaya hidup itu ada yang ilang-ilang timbul. Lihat saja gaya hidup bersepeda pasca Covid-19. Setiap pagi atau sore kita lihat banyak orang bergerombol sambil bersepeda. Toko-toko sepeda kebanjiran order. Beberapa pemengaruh di IG memperlihatkan foto dan reel ia tengah bersepeda. Sepedanya pun bermerek setara harga sepeda motor.

Kini menjelang pilpres 2024, orang-orang tak lagi menggowes sepeda. Berganti sedikit menjadi bersepeda listrik dengan kecepatan maksimal 25 km/jam. 

Sepeda dan sepeda motor listrik kemudian diproduksi di dalam negeri dan banyak pula diimpor. Namun, bersepeda motor listrik belum tampak menjadi gaya hidup meskipun diberi subsidi lumayan tinggi. Sepeda motor listrik masih kurang laku. 

Nah, apakah Anda mau menuliskannya? Mengapa masyarakat belum tergugah menggunakan kendaraan ramah lingkungan? Apakah masih dianggap terlalu mahal?

Intinya gaya hidup ini menarik untuk dituliskan. Bentuk tulisan yang pas adalah esai populer atau feature yang berkisah. Konsistenlah menekuninya dan biarkan media nanti mencari Anda.

Kuncinya Anda perlu sekali pengetahuan psikologi tentang perilaku manusia. Anda juga perlu wawasan tentang pemasaran karena banyak gaya hidup terkait dengan bisnis. Anda perlu juga membaca berita-berita tentang gaya hidup yang dikaitkan dengan dampak/impaknya, baik positif maupun negatif. Anda juga penting memahami latar budaya.

Antara menulis dan gaya hidup, Anda pilih menjadi penulisnya atau pelaku gaya hidupnya? Penulisnya saja dan menulis saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun