Setiap saya mengisi kegiatan pelatihan penulisan, pesertanya selalu didominasi oleh kaum perempuan. Entah apakah secara statistik jumlah perempuan meningkat pesat di Indonesia, entah juga karena kaum lelaki tak lagi tertarik dengan kegiatan menulis. Para perempuan itu dari berbagai latar belakang (ibu rumah tangga, dosen, wirausahawati, dokter, psikolog, dll.) antusias untuk belajar menulis dan menghasilkan karya tulis.
Memang belum ada penelitian khusus tentang profil penulis perempuan di Indonesia. Artinya, tentang jumlah mereka, minat mereka, dan kontribusi mereka dalam kemajuan literasi di Indonesia. Namun, tulisan semacam prosopografi (biografi kolektif) tentang penulis perempuan telah beberapa diterbitkan. Penulis perempuan itu kini tidak harus sastrawati, tetapi boleh siapa saja yang konsisten menulis dalam genre apa pun. Mungkin mereka berprofesi ganda selain sebagai penulis.
Ketika ikut menjadi editor dan penyelia dalam program penulisan buku model perjenjangan buku di Pusat Perbukuan, penulis yang terjaring pun didominasi oleh perempuan. Bahkan, 90% perempuan. Perempuan menulis buku anak memang semakin ramai. Begitu pun ketika saya mengadakan pelatihan menulis buku anak berjenjang, pesertanya lagi-lagi 99% perempuan.
Di Kompasiana ini juga saya yakin banyak sekali perempuan penulis---bukan penulis perempuan. Salah satu nama yang paling saya ingat adalah Bu Roselina Tjiptadinata. Saya begitu kagum dengan produktivitas oma kita ini dalam menulis dan konsistensinya. Sama halnya dengan pasangan hidupnya, Pak Tjiptadinata Effendi. Suami-istri ini bergantian menulis apa pun dan sekali-sekali mereka juga mampir ke tulisan saya serta memberikan komentar yang membesarkan hati.
Di penghujung Ramadan, tiba-tiba ada pesan WA dari seseorang. Saya mengenalnya sebagai Bu atau Eyang Nening. Ia kelahiran tahun 1954 dan sudah aktif menulis sejak remaja. Bahkan, hingga kini ia tetap menulis. Ibu yang tercatat sebagai anggot FLP Tegal ini rajin mengikuti berbagai kegiatan penulisan, termasuk menjadi pegiat literasi. Pada usianya yang tidak lagi muda, ia selalu ingin belajar menulis, menimba ilmu dari banyak pelatih penulisan.
Pesan WA ternyata meminta saya untuk membaca naskahnya dan memberikan testimoni. Dengan senang hati, tentu saya akan membaca naskah dan memberikan testimoni. Bagi saya, Bu Nening harus diberi apresiasi sebagai penulis perempuan yang unjuk gigih, bukan sekadar unjuk gigi. Sama halnya dengan Bu Roselina Tjiptadinata.
Ada begitu banyak "Kartini-Kartini" penulis dan itu semakin bertambah terus bertambah di Indonesia. Minat mereka juga cukup beragam, tetapi yang saya lihat minat tinggi dalam buku-buku pendidikan dan buku anak. Beberapa waktu lalu saya mengisi pelatihan penulisan buku bacaan literasi di Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung, pesertanya agak berimbang antara lelaki dan perempuan. Namun, tetap saja peserta perempuan lebih banyak dan lebih antusias.
Ini sebuah fenomena yang sebenarnya menarik untuk diteliti dari beberapa sudut pandang keilmuan. Mereka perlu dibina serius oleh negara sehingga dapat menghasilkan karya tulis bermutu, bukan sekadar "dibiarkan" bertumbuh kembang tanpa arah. Sebabnya, banyak sekali di antara mereka yang berminat menjadi penulis, tetapi belum memiliki kapasitas untuk menghasilkan karya tulis bermutu, terutama cerita anak dan buku anak.
Sampai di sini, saya ucapkan "Selamat Hari Kartini" dan selamat Idulfitri bagi yang merayakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H