Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ghostwriter (Semestinya) Bukan Joki Tulisan

20 Februari 2023   20:44 Diperbarui: 28 Februari 2023   10:52 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liputan investigasi Kompas baru-baru ini tentang perjokian di dunia akademis, terutama dalam dunia tulis-menulis. Menurut Kompas, perjokian ini telah mengakar dari level sekolah hingga perguruan tinggi. Praktik buruk ini terlalu lama dibiarkan, bahkan dianggap sudah menjadi kelaziman.

Jika ingin membaca secara lebih detail, Anda tentu dapat mengakses artikel liputan investigasi Kompas tersebut. Memang perjokian karya tulis yang ditengarai Kompas itu membuat miris, apalagi alasannya kebanyakan karena sifat malas dan pengguna jasa joki memang memiliki cukup uang. Antara joki dan pengguna jasa membentuk hubungan simbiosis mutualisme.

Saya ingin membahas tentang joki yang kadang disamakan dengan penulis bayangan (ghostwriter). Saya pernah menolak dan sampai sekarang menolak bahwa joki atau calo karya tulis sama dengan terminologi ghostwriter. 

Seorang mahasiswa prodi komunikasi pernah ingin mengangkat fenomena ini ke dalam karya tulis ilmiahnya dan ia menyebut para penulis itu adalah ghostwriter (GW). Saya menyangkal hal tersebut.

Penulis bayangan atau ghostwriter saya posisikan sebagai profesi legal, yang juga saya lakoni sejak dulu hingga kini. Profesi ini bekerja sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik penulisan. Hanya beberapa jenis karya tulis yang dikerjakan seorang GW dengan konsekuensi namanya tidak dikreditkan/dicantumkan di karya tulis tersebut.

Karena itu, pekerjaan GW relevan untuk mengerjakan karya tulis berikut ini:

  • profil/sosok atau biografi/autobiografi/memoar seorang tokoh;
  • artikel populer/buku pemikiran populer yang tidak dimaksudkan untuk penilaian angka kredit/kenaikan jabatan dan kelulusan; dan
  • karya tulis kehumasan, termasuk konten media baru.

Halida Bahri dan Masriadi Sambo (2021) dalam bukunya PR Writing: Pengantar dan Aplikasi di Era Digital menulis satu bab khusus tentang penulis bayangan. 

Keduanya menyatakan praktisi PR terkadang menjadi penulis bayangan--tahun 1970-1980-an muncul istilah 'penulis siluman'. Pengertian penulis bayangan ini adalah penulis yang mengerjakan karya tulis untuk keperluan orang lain dengan ciri namanya tidak disebutkan sebagai penulis.

Hal yang kerap digugat tentu persoalan etis dari penulisan yang dikreditkan atas nama orang lain ini. Saya menganggap etis sepanjang ada kontrak/perjanjian antara penulis bayangan dan klien. Salah satu yang menjadi sorotan saya adalah persoalan gagasan dan bahan memang sudah disediakan oleh klien. Dalam hal ini klien adalah pemilik gagasan (author) dari karya tulis itu.

Jadi, GW sejatinya tidak bekerja (menulis) dari sesuatu yang tidak ada sama sekali. Minimal terdapat gagasan dan syukur-syukur tersedia bahan yang memadai. GW hanya akan melakukan riset, wawancara, dan studi literatur tambahan. Namun, Bahri dan Sambo memerinci bahwa GW dapat saja bekerja dari nol.

Saya kurang setuju dengan pendapat ini bahwa GW dapat bekerja dari nol, termasuk ia yang harus menemukan gagasan dan mengembangkannya untuk orang lain. Jika demikian, persoalan etis tadi mengemuka. Apakah etis seseorang/kelompok mengakui karya tulis itu adalah karyanya tanpa berbuat apa pun hanya karena ia memiliki uang untuk membayar GW?

Itu sebabnya ada perbedaan istilah antara author dan writer. Author adalah seseorang yang memiliki gagasan atau kaya akan gagasan, tetapi belum tentu mampu menulis. Adapun writer adalah seseorang yang sangat terampil menulis, tetapi belum tentu memiliki gagasan. Hubungan antara author dan writer ini diwujudkan dengan penulisan kolaboratif.

Author dapat mengajak seseorang menulis dari nol dan ikut mengembangkan gagasan, mencari sumber penulisan, dan meriset sehingga orang itu dinamakan co-author. 

Author juga dapat mengajak seseorang menulis bukan dari nol, melainkan telah tersedia cukup bahan dan hasil riset untuk dituliskan sehingga orang itu disebut co-writer---namanya turut dituliskan sebagai nama kedua atau nama ketiga.

Terakhir, author dapat meminta seseorang menulis bukan dari nol, melainkan telah tersedia cukup bahan dan hasil riset untuk dituliskan sehingga orang itu disebut ghostwriter karena namanya tidak dikreditkan/disebutkan sebagai penulis. Jalan tengah yang diambil biasanya nama ghostwriter muncul sebagai editor/penyunting.

Jika GW bekerja dari nol atas kontrak dari klien yang memiliki uang, GW memang tidak berbeda dengan joki tulisan. Ia menghasilkan karyanya sendiri untuk diakui sebagai karya orang lain.

GW sebagai Profesi dan Tugas yang Legal

Ini definisi GW yang saya kutip dari Wikipedia:

A ghostwriter is a professional writer who is paid to write books, articles, stories, reports, or other content which are officially credited to another person. Celebrities, executives, and political leaders often hire ghostwriters to draft or edit autobiographies, magazine articles, or other written material. In music, ghostwriters are used in classical music, film score composition, and popular music such as top 40, country, and hip-hop. The ghostwriter is sometimes acknowledged by the author or publisher for his or her writing services.

Perdebatan tentang GW ini memang terus terjadi seperti ditengarai oleh Bahri dan Sambo di dalam bukunya. Namun, saya tetap memandang GW legal sepanjang ia memiliki batasan dalam mengerjakan tulisan untuk orang lain. 

Penggunaan GW menjadi relevan jika seorang pengarang/pemilik gagasan (author) mengalami kesulitan menulis, seperti tidak mampu menulis dengan baik dan tidak memiliki waktu untuk menulis karena kesibukan luar biasa.

GW dapat membantu orang tersebut bukan semata persoalan uang, melainkan juga persoalan mengalirkan pengetahuan. Pengetahuan seorang author yang menjadi klien GW dalam bentuk tacit knowledge dan ditransfer menjadi explicit knowledge melalui tulisan menjadi pekerjaan yang mulia meskipun ia dibayar. Ya, jangan sampai seorang pakar lalu tiada bersama pengetahuan yang dikuasainya tanpa ada pewarisan dalam bentuk tulisan.

GW dapat dilihat sebagai profesi dan dapat pula menjadi penugasan. Seseorang yang menjadi praktisi humas sering kali harus siap menjadi GW, terutama menyiapkan pidato pimpinan atau presentasi pimpinan. 

Seseorang yang menjadi asisten atau staf ahli seorang pejabat atau pemimpin perusahaan sering juga melakoni diri sebagai GW. Ia bekerja (menulis) atas nama orang yang menggajinya.

Profesi lain yang erat kaitannya dengan tugas sebagai GW adalah seorang publicist. Publisis biasanya bekerja untuk seorang tokoh/figur publik atau institusi tertentu. 

Publisis mengelola semua publikasi dan publisitas kliennya, terutama dalam bentuk tertulis. Jika Anda melihat seorang tokoh hadir dengan tulisan-tulisan yang rutin di media sosial atau media daring, mungkin ia mempekerjakan seorang publisis.

Tahun 2003--2008 saat bekerja sebagai direktur utama di PT MQ Publishing lalu PT MQS, saya kerap berperan sebagai GW untuk Aa Gym. Saya juga menugaskan staf untuk mengisi rubrik yang disediakan di beberapa media massa berkala sebagai "kapling" untuk Aa Gym. 

Di Republika pada masa itu ada suplemen MQ sehingga saya dan staf penulis mengisi tulisan itu atas nama Aa Gym. Alasannya karena pada saat itu tidak ada waktu bagi da'i seperti Aa Gym menulis secara rutin.

Salah satu yang saya ingat adalah sebuah rubrik tentang spritualitas olahraga di Tabloid Bola. Saya harus mengisi rubrik itu atas nama Aa Gym dan mengupas berbagai fenomena olahraga dari kacamata spritualitas.

Apakah gagasan tulisan itu berasal dari saya? Sejatinya tidak karena tulisan itu dikembangkan dari gagasan Aa Gym sendiri tentang manajemen qolbu.

Sebagai GW Aa Gym, saya mencoba--dalam istilah saya--mengalibrasi sosok Aa Gym, terutama pemikirannya. Saya rutin membaca tulisan-tulisan sebelumnya dan mendengarkan "kaset" ceramah beliau pada zaman itu. Dengan demikian, gaya bahasa yang muncul pada buku itu saya usahakan adalah gaya bahasa Aa Gym. Saya tidak menulis keluar dari "pakem" Aa Gym dan tidak sesuai dengan pemikirannya.

Sejatinya pekerjaan GW itu memang "rahasia". GW tidak boleh menyebut ia bekerja menuliskan karya si anu atau si fulan karena terikat dengan kontrak/perjanjian. Akan tetapi, terkadang terjadi kelucuan juga. Dalam acara peluncuran buku atau bedah buku, klien justru menyebut nama GW yang bekerja untuknya.

Saya juga jadi menyebut tugas GW untuk Aa Gym. Namun, itu bukan "rahasia", melainkan sudah rahasia umum. 

Akan tetapi, dalam beberapa referensi yang saya baca, GW tidak selalu namanya tidak disebutkan. Terkadang dalam karya seperti biografi/autobiografi/memoar, nama GW muncul dengan kalimat: sebagaimana dikisahkan kepada .... (as told to....).

Salam insaf!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun