Penulis subuh terjaga dini hari. Ia menggumpalkan gagasan dari sisa mimpi. Subuh adalah masa yang berharga di antara kala yang tak lagi ada.
Penulis subuh bermunajat agar tulisannya bermanfaat. Zikirnya menembus lapis-lapis langit. Sunyi-sepi meramaikan hatinya tentang syukur yang tak bertepi.
Penulis subuh menggerakkan pikiran dan perasaannya. Di kanannya ada secangkir teh dan di kirinya ada sebuah buku. Teh dan buku memberi jeda baginya untuk merenung. Masihkah elok ia menuliskan senja?
Penulis subuh mengikat makna penuh suka cita. Ia mengetikkan kata, frasa, kalimat, dan alinea hingga paripurna. Senyumnya turut mengisi margin di ruang putih.
Penulis subuh menuntaskan hanya dua halaman. Cukup dua halaman. Sebulan dapat terwujud enam puluh halaman, begitu pikirnya. Ia menghitung hari-hari dari sisa kala yang niskala.
Subuh telah beranjak. Matahari bermain ciluk-ba bersama tirai yang digelitiki angin. Penulis subuh bergegas.
Sampailah ia di dalam kelas. Murid-murid menantinya dengan antusias. "Selamat pagi, Anak-anak!"
"Selamat pagi, Bu!"
"Sudahkah kalian kerjakan PR kemarin?"
"Sudah, Bu!"
"PR apakah itu?"