Mas Her pernah berkisah bagaimana pada awalnya ia merombak total karya Quraish Shihab (Membumikan Al-Quran) karena menurutnya bermasalah dalam bahasa dan struktur. Namun, seiring waktu, karya Pak Quraish terus membaik dan tidak lagi memerlukan penyuntingan substantif.
Para penulis seyogianya memang berterima kasih kepada editor yang telah mengantarkan karyanya dapat dinikmati para pembaca dengan lebih baik. Dari media sosial saya pernah membaca bagaimana novelis Dewi Dee sangat senang jika novelnya ditangani editor bernama Hermawan Aksan. Sang editor, Hermawan Aksan, dikenal sebagai redaktur bahasa di sebuah koran dan aktif juga menulis serta melahirkan buku.
Novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway juga mendapatkan sentuhan penyuntingan substantif sebelum akhirnya novel ini memenangi penghargaan Pulitzer untuk kategori fiksi dan hadiah Nobel bidang sastra pada tahun 1954. Di balik karya-karya besar memang selalu ada para editor yang berperan meskin nama mereka tidak turut populer.
Bagaimana Membentuk Diri Menjadi Editor Substantif
Editor yang ingin meningkatkan kariernya ke level lebih tinggi menjadi editor substantif atau editor senior tidak pelak lagi harus sudah sangat menguasai kemampuan penyuntingan mekanis (mechanical editing). Penyuntingan mekanis berfokus pada keterbacaan (tipografi), kebahasaan, ketaatasasan (penerapan gaya selingkung), kepatuhan legalitas dan kepatutan, serta ketelitian data dan fakta. Jadi, memang tidak mudah mengasah ketajaman sebagai editor.
Editor substantif seperti yang saya sebutkan sebelumnya harus memiliki intuisi yang tajam untuk melihat banyak segi di dalam sebuah naskah. Cara menajamkan intuisi ini salah satunya sering mengunjungi toko buku atau pameran buku dan menelusuri buku satu per satu. Misalnya, meninjau rak buku best seller. Jika diperlukan, buku best seller dibeli untuk dibedah mengapa buku tersebut sangat laris. Faktor-faktor apa yang memberi kontribusi.
Cara lain adalah berinteraksi dengan penulis-penulis hebat, memahami jalan pemikiran mereka dan tentunya juga gaya penulisan mereka. Sekadar cerita dari Mbak Rita yang mengikuti asesmen penyuntingan substantif, ia sangat berhati-hati ketika menyunting karya Putu Wijaya. Ada wanti-wanti yang diberikan Putu sebelum naskahnya diedit. Terkadang karya itu tidak mengindahkan kaidah bahasa yang berlaku.
Saya juga melihat hal semacam ini pada karya-karya Remy Silado. Tak dapat kita mengeditnya berdasarkan PUEBI semata. Tokoh yang disebut munsyi ini juga pasti punya argumen mengapa ia menuliskan karyanya dengan menabrak aturan kebahasaan. Boleh jadi itu bagian dari gaya menulis (style) yang khas. Karena itu, elok juga seorang editor belajar ilmu stilistika.
Terakhir, calon editor substantif harus berani menangani pekerjaan naskah-naskah yang termasuk kategori berat, baik fiksi maupun nonfiksi. Jangan menolak pekerjaan naskah yang sulit karena hal itu tidak dapat membantu mengasah ketajaman Anda mengedit.
***
Ada beberapa editor yang enggan melakukan penyuntingan berat dengan anggapan mereka sudah berubah perannya menjadi penulis atau penulis pendamping. Sebenarnya, tidak demikian jika ia memahami bahwa ada wilayah yang disebut penyuntingan substantif. Memang hasil sunting itu tergolong sebagai karya dengan hak cipta baru. Namun, karena para editor digaji oleh penerbit maka karya sunting itu hak ciptanya dimiliki oleh penerbit.
Dalam beberapa kasus ketika sebuah buku dialihkan penerbitannya oleh penulis maka semestinya ia tidak diperkenankan menggunakan hasil sunting penerbit sebelumnya. Soal ini banyak yang belum mengerti karena dikira si penulis itu sudah satu paket hak ciptanya. Hak cipta penulis hanya terdapat pada naskah "mentah" yang belum diedit, sedangkan hak cipta hasil sunting ada di penerbit.