Tentu saja penyusunan senarai catatan penting ini bersifat sepihak yang disusun oleh para pakar dan mengandung subjektivitas. Berbeda halnya dengan yang disusun oleh Klub Buku Norwegia. Boleh jadi memang ada catatan yang sebenarnya juga sangat penting, tetapi tidak termasuk di dalam daftar alias senarai tersebut.
Di dalam senarai Tempo terdapat buku-buku nonfiksi di antaranya Di Bawah Bendera Revolusi (Soekarno), Madilog (Tan Malaka), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Koentjaraningrat), dan Manusia Indonesia (Mochtar Lubis). Bahkan, buku lawas P.K. Ojong yang berjudul sama dengan media ini Kompasiana juga termasuk ke dalam 100 catatan penting.
Dari deretan karya fiksi novel terdapat di antaranya Tetralogi Pulau Buru (Pramoedya Ananta Toer), Sitti Nurbaya (Marah Rusli), Belenggu (Armijn Pane), Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma (Idrus), Layar Terkembang, (Sutan Takdir Alisjahbana), Salah Asuhan (Abdul Muis), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Hamka), dan Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya).
Jika ingin menakar daya literasi kita, paling tidak buku-buku yang terdapat di dalam 100 catatan penting ini masuk ke dalam daftar bacaan wajib siswa sekolah, bahkan mahasiswa. Karena itu, jangan sampai terjadi generasi muda menanyakan: Siapa sih Pramoedya? atau Siapa sih Chairil Anwar?
Jika mau lebih serius lagi, pemerintah bersama komunitas literasi dapat menentukan daftar 100 buku fiksi dan 100 buku nonfiksi yang penting dibaca sepanjang masa sebelum meninggalkan dunia fana ini---tentu saja dengan pengecualian kitab suci (ini wajib dibaca).Â
***
Malam selanjutnya, saya ingin menonton sekuel Equalizer. Â Robert McCall dikisahkan sebagai latar masih menenteng buku untuk menyelesaikan tantangan membaca 100 bukunya. Buku apakah gerangan?[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H