Namun, dalam beberapa kejadian, pemerintah kerap hanya menakar buku dari segi fisiknya, sedangkan gagasan sering luput dihitung. Padahal, semestinya pemerintah memperhitungkan nilai gagasan untuk menggairahkan usaha-usaha penulisan dan penerbitan buku.
Gagasan buku itu sejatinya bukan hanya gagasan penulis/pengarang, melainkan juga menyangkut gagasan penyajian yang dikerjakan oleh para editor, ilustrator, dan desainer buku.Â
Perjalanan panjang sebuah buku untuk diterbitkan di bagian editorial merupakan peramuan gagasan yang semestinya juga dihargai jika memang menginginkan buku yang bermutu. Â
Paradoks dari harga gagasan ini sering dibenturkan dengan harga buku murah. Perjuangan agar harga buku murah semestinya dimulai dari kebijakan pengadaan kertas, bukan dengan mengorbankan gagasan yang nyaris tidak dinilai. Mereka yang gila membaca tentu mendambakan harga buku yang terjangkau, namun bagi yang benar-benar gila, harga buku sering tidak menjadi soal.
Ada lagi paradoks lain bahwa masyarakat kita dapat menerima harga kuota internet atau pulsa dan membelinya terus-menerus. Namun, ketika bersua dengan harga buku, langsung dicap mahal meskipun buku tidak akan habis dibaca berkali-kali, bahkan dapat diwariskan.Â
Kalau hal ini, benar-benar anomali di negeri yang rendah literasi. Belum lagi orang-orang yang selalu menginginkan buku gratis dari penulis/pengarang kenalannya. Mungkin mereka kira menulis dan menerbitkan buku sama dengan membuat kue lebaran.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H