Suatu ketika lewat rumpian di messenger, seorang calon penulis menanyakan beberapa perihal menulis kepada saya. Ia antusias sekali ingin belajar menulis. Namun, ada satu hal yang ia sampaikan belakangan: "Tapi, saya tidak suka membaca Pak Bambang .... Gimana, ya?
Ya, gimana? Ke laut aja. Menjadi penulis, tetapi enggan  membaca itu sama dengan menjadi barista, tetapi tidak suka minum kopi. Itu konyol, naif, dan sederet ungkapan yang menyiratkan ketidakmungkinan. Namun, bukan harga mati memang karena para penulis yang tidak membaca sesungguhnya banyak juga, Saudara.
Gejala "asal tulis" telah menjangkiti mereka yang mengaku-aku sebagai penulis. Indikasinya dapat dilihat dari tulisan yang tidak ada "dagingnya" alias minus manfaat. Kedua, tulisan yang tidak jelas tujuannya. Ketiga, tulisan yang ngopi sana ngopi sini atau lebih banyak meniru tulisan orang lain. Keempat, tulisan yang menyajikan data dan fakta yang keliru atau tidak terkonfirmasi. Kelima, tulisan yang miskin gagasan.
Membaca itu adalah sahabat karib menulis. Jika diibaratkan dengan makanan, membaca itu adalah nutrisi bagi para penulis untuk mampu berpikir dan berperasaan secara bermutu.Â
Tidak asal berpikir dan tidak asal berperasaan tanpa rujukan, terutama rujukan dari adikarya (masterpiece) masa lalu. Jika dipaksakan, hasilnya adalah karya yang bakal ditertawakan atau dikritik dengan tajam karena kelemahan di sana sini.
Dalam soal berbicara di depan publik juga akan diketahui mana pembicara yang membaca dan mana pembicara yang tidak membaca. Seorang komika dalam acara stand-up comedy mungkin saja enggan membaca dan tetap lucu.Â
Namun, ia akan semakin lucu karena membaca. Percayalah, paling tidak ia membaca bagaimana menggagas komedi dari para profesional di buku-buku.
Sastrawan Amerika, Ambrose Bierce pernah berujar, "There's nothing new under the sun, but there are lots of old things we don't know."
Artinya, sangat kecil kemungkinan ada karya yang benar-benar orisinal tercipta tanpa adanya rujukan dari karya-karya sebelumnya. Tidak ada yang baru memang di bawah matahari. Namun, sejatinya banyak juga hal yang belum kita ketahui.
Jadi, ketika seseorang menulis nonfiksi tanpa daftar rujukan/daftar pustaka, tentu karyanya meragukan bahwa ia tidak mengutip sama sekali---benar-benar asli pemikirannya. Jika ditelusuri, ternyata ia mengutip juga pemikiran-pemikiran orang lain.