Banner di bagian bawah Kompasiana selalu mengikat pandangan saya. Ada gambar KBBI alias Kamus Besar Bahasa Indonesia (tampaknya ini edisi bukan terbaru) dan wajah ganteng Uda Ivan Lanin (panggilan akrab untuk urang awak ini). Kompasiana ternyata menyediakan pendapat pro dan kontra tentang dari mana seseorang belajar bahasa Indonesia.Â
Sewaktu saya klik dan masuk ke laman tersebut, saya bimbang juga mau berkomentar apa. Alhasil, saya menulis saja artikel ini. Rupanya konten pro dan kontra itu mulai ditayangkan Kompasiana tanggal 16 April 2018. Mungkin ini semacam survei untuk menakar kekuatan dan kepopuleran seorang Ivan Lanin --seorang praktisi teknologi informasi yang sangat mencintai bahasa Indonesia.
Hal yang menggelitik saya adalah sandingan Ivan Lanin yaitu KBBI. Sejatinya KBBI adalah kamus dan kamus adalah tempatnya kata/istilah yang sering disebut lema berikut padanan dan artinya. Di KBBI seseorang juga dapat mengecek kebakuan suatu kata atau kata itu digunakan pada ragam resmi atau ragam cakapan (nonformal).
Artinya, KBBI itu buku referensi atau rujukan, tidak terlalu tepat untuk dijadikan media belajar bahasa Indonesia secara praktis. Ya, di KBBI memang terlampir Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan (sebelum diberlakukannya PUEBI) dan beberapa lampiran lain seperti arti simbol, nama-nama geografis, dan pedoman transliterasi. Namun, fungsinya tetap sebagai kamus.
Dalam soal bahasa Indonesia, jujur saya benar-benar belajar serius karena kuliah di Prodi D-3 Editing Universitas Padjadjaran. SD sampai dengan SMA, bahasa Indonesia itu begitu sulit saya pahami. Bahkan, saya pernah mendapat nilai 5 di rapor kelas I SMA untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kisah tragis!
Jadi, gara-gara tidak lolos UMPTN (SNMPTN "zaman old"), saya memilih tes masuk PTN di luar UMPTN. Takdir membawa saya ke prodi di Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia itu. Prodi D-3 Editing berdasarkan sejarahnya didirikan oleh Prof. Jus Badudu. Nama tokoh yang satu ini tidak dapat dilepaskan dari perbincangan tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar.Â
Di sisi lain, saya beberapa kali berinteraksi juga dengan Ivan Lanin. Saya pun mendapatkan banyak informasi tambahan terkait bahasa Indonesia dari postingan-nya di Facebook maupun di Instagram. Jadi, saya belajar juga dari Ivan Lanin meskipun sudah mendapatkan bekal bahasa Indonesia yang lumayan banyak dari tempat saya kuliah.Â
Buku-buku tentang kemahiran berbahasa Indonesia dan penyuntingan sudah menjadi "makanan" saya sehari-hari sejak di bangku kuliah hingga kini. Buku yang paling fenomenal dan terus saya baca sampai saat ini adalah 1001 Kesalahan Berbahasa karya E. Zaenal Arifin dan Farid Hadi --keduanya bergiat di Pusat Bahasa yang sekarang menjadi Badan Bahasa. Buku lain yang masih saya gunakan sampai kini adalah buku lawas karya Jus Badudu dan juga karya W.J.S. Poerwadarminta.Â
Pada era media sosial kini, buku-buku itu terlupakan karena praktis minim sekali buku baru yang diterbitkan praktisi atau pegiat bahasa Indonesia. Sosok seperti Ivan Lanin yang peduli pada bahasa Indonesia sekaligus menguasai teknologi informasi menjadi mencuat ke permukaan di jagat maya. Jadi, para penulis yang sedang belajar bahasa Indonesia, apalagi digital native, siapa sih yang tidak mengenal Ivan Lanin?
Namun, jangan bandingkan Ivan Lanin dengan KBBI .... Soalnya, dua subjek itu berbeda satu sama lain. Artinya, belajar bahasa Indonesia memang tidak dapat dilakukan melalui KBBI. Namun, KBBI sebagai rujukan untuk belajar bahasa Indonesia, benar adanya. Di KBBI, Anda tidak dapat belajar tentang ejaan (tanda baca, singkatan, akronim, kapitalisasi, dsb.) dan tata bahasa. Untuk hal ini, Anda harus membuka Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia terbitan Badan Bahasa.Â
Belajar bahasa Indonesia pada Ivan Lanin? Nah, tokoh kita yang masih muda ini sangat mungkin dan dapat diandalkan menjawab beberapa permasalahan bahasa Indonesia. Namun, beliau bukanlah "kamus yang berjalan".