Dalam kasus minat baca sekira lima belas tahun lalu, di Inggris pernah ditemukan kecenderungan anak lelaki yang mulai meninggalkan aktivitas membaca dibandingkan anak perempuan. Bahkan, ada asumsi membaca itu terlihat tidak jantan dan hanya pantas dilakukan anak-anak perempuan.
Pemerintah Inggris mengantisipasi hal ini dengan membuat program Premier League Reading Stars. Para pemain bintang sepak bola Liga Inggris didatangkan ke perpustakaan, sekolah-sekolah, dan pusat pelatihan sepakbola untuk membacakan buku kepada anak-anak, terutama anak lelaki. Keluarga si anak juga dilibatkan yaitu ayah dan ibunya untuk mendengarkan pembacaan buku.
Program ini disebut sebagai intervensi literasi yang disuntikkan melalui sepak bola, terutama bagi anak-anak lelaki usia 9 s.d. 13 tahun yang menyukai sepak bola, tetapi tidak dengan membaca. Program ini sudah dijalankan sejak 2003 antara The National Literacy Trust dan The Premier League.
Apabila hal yang sama juga terjadi di Indonesia, tentu wajar jika pertumbuhan penulis perempuan akan lebih pesat daripada penulis lelaki. Pasalnya, membaca adalah sumbu utama untuk membakar hasrat menulis dan produktivitas menulis. Mutu tulisan akan sangat ditentukan oleh aktivitas membaca bacaan bermutu.
Ibu Kartini mungkin dapat tersenyum kini bahwa dalam bidang penulisan di Indonesia, dominasi kaum lelaki sudah ditumbangkan oleh perempuan. Namun, senyum Ibu Kartini  akan terhenti manakala terlihat linangan air mata Ibu Pertiwi yang bersedih hati karena anak-anak lelakinya tidak lagi membaca hingga kalah berdebat dengan Najwa Shihab, sang duta baca di seluruh Indonesia.
Wahai, kaum lelaki penulis bangkitlah segera. He-he-he.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H