Ini cerita lain soal emansipasi, tentang sisi Ibu Kartini yang seorang penulis meskipun hanya menulis dalam bentuk kumpulan surat. Semangat kepenulisannya juga mengalir sepanjang zaman kepada perempuan-perempuan Indonesia.
Saya melihat kecenderungan ini beberapa tahun yang lalu. Makin banyak penulis perempuan menorehkan kiprahnya. Uniknya, mereka ada di banyak genre penulisan, termasuk penulisan buku anak dan remaja. Dominasi penulis lelaki mulai terkalahkan. Bahkan, seorang suami yang penulis, juga harus mengalah, memberi tempat kepada istrinya yang hendak menguji eksistensi dalam menulis.
Bahkan lagi, di balik lelaki penulis yang hebat, terdapat pula perempuan penulis yang tangguh. Contohnya, di balik Gola A Gong (pendiri Rumah Dunia), ada Tias Tantaka.
Di jajaran penulis papan atas, baik fiksi maupun nonfiksi, nama-nama penulis perempuan Indonesia mencuat. Sebut saja di jagat fiksi ada Leila S. Chudori, Ayu Utami, Ika Natassa, Asma Nadia, Dewi "Dee" Lestari, Fira Basuki, Djenar Mahesa Ayu, Clara Ng, Helvy Tiana Rosa (HTR), dan banyak lagi.
Ada juga Alberthiene Endah yang terkenal sebagai penulis spesialis biografi dan kisah-kisah sukses. Di deretan nama-nama penulis buku anak dan remaja ada Renny Yaniar, Ary Nilandari, Triani Retno, Arleen Amidjaja, Debby Lukito, Dian Kristiani, Nunik Utami, Dian Onasis, Monica Anggen, dan juga masih ada sederetan nama yang kadang lekat di benak saya dan kadang juga terlupa. Artis seperti Happy Salma dan Rieke Diah Pitaloka yang belakangan menjadi politikus juga dikenal sebagai penulis.
Penulis anak-anak? Banyak sekali anak perempuan yang mencurahkan perhatian untuk menulis. Perhatikan seri novel Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) yang diterbitkan Mizan. Rasa-rasanya tidak ada karya anak lelaki di seri KKPK. Pernah ada, Abdurahman Faiz---putra HTR---yang sempat menulis juga di KKPK, mungkin jadi satu-satunya.
Tahun-tahun ke depan saya rasa bakal makin banyak penulis perempuan yang mendominasi jagat penerbitan di Indonesia, termasuk sayembara-sayembara penulisan. Perempuan Indonesia menyadari eksistensi mereka dapat dibangun melalui dunia kepenulisan.Â
Profesi ini paling fleksibel dijalankan meskipun mereka juga berstatus sebagai ibu rumah tangga. Alhasil, sambil mendayung, dua tiga buku terlampaui dan mereka pun eksis dengan predikat bergengsi: penulis buku!
Di kelas-kelas pelatihan penulisan, saya sering terkesima karena pesertanya 70%-80% adalah perempuan. Peserta perempuan juga lebih cenderung aktif bertanya dibandingkan lelaki. Tampak mereka memang lebih antusias untuk menggali ilmu.
Suatu kali, di kelas privat penulisan yang saya adakan, ada peserta perempuan yang datang jauh-jauh dari Banjar ke Jakarta untuk belajar menulis. Bahkan, saat itu ia sedang hamil anak pertamanya. Semangatnya untuk belajar menulis, menempuh jarak yang jauh, bahkan harus keluar duit pula, tentu saja mengharukan. Kini ia menjadi seorang writerpreneur, bahu-membahu bekerja dari rumah bersama suaminya menghasilkan buku.
Kecenderungan ini menarik, tetapi sekaligus merisaukan jika ternyata anak lelaki tidak lebih tertarik dengan literasi (utamanya baca-tulis) dibandingkan anak perempuan. Memang ini perlu riset mendalam terlebih dahulu untuk meyakinkan apa yang sebenarnya terjadi.