Ya, tentulah bagus sekali upaya menerbitkan karya dalam bentuk buku, terutama yang kini menggejala di kalangan para guru maupun dosen. Saya mencermati gejala ini sejak beberapa tahun lalu. Sebuah lembaga penerbitan mencetuskan program Satu Guru Satu Buku (Sagusabu) yang diikuti juga oleh lembaga lain dengan nama program yang hampir mirip. Bahkan, ada juga lembaga yang menyelenggarakan penghargaan bagi para guru penulis yang ujung-ujungnya menawarkan penerbitan dan pencetakan buku secara berbayar.Â
Sasaran para guru dan dosen yang diajak menulis buku itu menarik karena terkait bahwa karya itu dapat menjadi angka kredit bagi kenaikan pangkat para akademisi itu. Di sisi lain, memang ada adagium seperti ini: "All scientists are the same; until one of them writes a book." Boleh dikatakan semua guru/dosen itu sama saja, sampai salah seorangnya menulis buku. Jadi, menulis buku juga merupakan gengsi profesi.
Namun, semangat dan gejala beramai-ramai menulis buku ini perlu juga dikoreksi. Apalagi, kemudian banyak program menawarkan penulisan buku antologi --kumpulan artikel atau esai dari banyak orang. Seolah-olah para akademisi itu sudah menulis buku, tetapi sebenarnya hanya menjadi kontributor bagi sebuah buku yang disebut antologi itu.
Walaupun begitu, bukan berarti menulis antologi itu tidak baik atau tidak bagus, tetap dapat mendorong kemauan dan kemampuan menulis. Hanya harus disadari bahwa sebagai penulis antologi, seorang penulis belumlah menulis satu buku utuh.
Selain itu, masih juga terdapat bias pemikiran soal self-publisher (penerbit mandiri). Beberapa penerbit termasuk pencetak menawarkan program self-publishing untuk para guru atau dosen --yang sebenarnya jasa mereka itu lebih tepat disebut vanity publisher (penerbit bersubsidi/berbayar) alih-alih menyebut self-publisher. Guru dan dosen disemangati untuk menulis buku, dijanjikan pelatihan dan pendampingan, lalu karyanya diterbitkan. Namun, tentu saja mereka harus membayar dan ini sah-sah saja sebagai "simbiosis mutualisme".
Temuan memprihatinkan karya para guru
Tahun lalu saya diminta menjadi juri oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud untuk menilai buku-buku yang menjadi nomine sayembara penulis buku untuk guru --saya hanya sempat hadir pada hari pertama. Saya juga tahun lalu dan tahun ini menjadi anggota panitia Penilaian Buku Nonteks Pelajaran di Puskurbuk, Kemendikbud. Karya buku para guru menjadi akrab dalam perhatian saya dalam beberapa tahun terakhir ini.
Selain itu, beberapa kali pula saya diminta mengisi pelatihan penulisan yang ditujukan untuk para guru. Pelatihan terbaru adalah pada 14 April kemarin ketika saya diundang untuk mengisi materi penyuntingan naskah di sebuah kegiatan TOT (training of trainer) penulisan buku untuk para guru di Ambarawa.Â
Dari berbagai kegiatan itu saya menilai terkadang semangat para guru menulis buku itu justru tidak diimbangi peningkatan kapasitas menulis buku yang memadai. Banyak buku yang dihasilkan belum memenuhi standar mutu sebuah buku yang baik. Dalam versi saya, buku yang baik itu adalah yang memiliki daya gugah (orang berminat membacanya sampai tuntas); daya ubah (materinya menambah pengetahuan/keterampilan/kepribadian seseorang menjadi lebih baik); dan daya pikat (desainnya estetis dan memenuhi standar kenyaman serta keamanan penggunaan).
Program yang membuat sebegitu banyak guru atau dosen tersentak, lalu ramai-ramai menulis buku, tentu baik sekali. Apalagi, jika dikaitkan dengan peningkatan daya literasi. Namun, senyampang bersemangat, berilah jalan bagi para guru untuk menambah kapasitasnya menulis secara baik dan benar yaitu memenuhi kebutuhan para pembaca sekaligus memenuhi kaidah-kaidah penulisan yang baku.
Siapa yang memberi jalan ini semestinya? Pemerintah dan juga masyarakat atau asosiasi/lembaga yang menaruh perhatian pada peningkatan kapasitas guru. Peran para profesional harus dikuatkan yaitu mereka yang benar-benar menguasai teknik penulisan dan penerbitan buku, bukan yang tiba-tiba saja menjadi pelatih para penulis buku hanya karena pernah menulis buku.
Saya ambil contoh kecil yang selalu saya ulas tentang kekeliruan penulisan buku. Di dalam buku, para penulis harus dapat membedakan kata pengantar (foreword) dan prakata (preface). Kata pengantar ditulis oleh orang lain yang bukan penulis. Isinya adalah apresiasi terhadap karya buku atau si penulis sendiri. Adapun prakata ditulis oleh penulis sendiri. Isinya terkait apa dan mengapa penulis menulis buku dan untuk siapa buku itu ia tulis. Namun, yang banyak terjadi adalah kekacauan pengertian antara kata pengantar dan prakata.