Dari dulu sejak ditemukannya tulisan maka manusia sulit melepaskan diri dari tulis-menulis. Tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang tidak ada kegiatan menulisnya, apalagi jika dihubungkan dengan pendidikan. Menulis adalah level tertinggi dalam kemampuan berbahasa setelah membaca, menyimak, dan berbicara.
Seseorang yang mahir membaca, belum tentu mahir pula menulis. Begitu pula seseorang yang mahir berbicara atau menyimak, belum tentu juga mahir dalam menulis. Itu sebabnya menulis merupakan keterampilan yang  mewah karena harus ada dorongan yang kuat plus pelatihan yang giat untuk menguasainya.
Saat berbagi tanggal 21-22 Maret 2018 di Puspiptek Serpong untuk sebuah unit kerja BPPT, saya menemukan kenyataan itu. Para peneliti dan perekayasa yang senior mengaku kesulitan menulis sudah sejak lama. Menulis menjadi keterampilan yang mewah bagi mereka, apalagi ditambah tuntutan untuk menghasilkan angka kredit. Mereka harus menulis artikel di jurnal ilmiah dan juga buku ilmiah. Jangankan menulis utuh sebuah makalah lengkap, menulis bagian abstrak saja susahnya minta ampun.
Meski keterampilan menulis menjadi mahal dan mewah bagi sebagian orang, bagi banyak orang sering juga pekerjaan menulis dipandang sebelah mata. Paling nyata tampak ketika orang menganggap pelatihan-pelatihan menulis yang berbayar itu harus murah. Kedua, jasa penulisan juga semestinya sangat murah karena dianggap sekadar menata kata-kata.Â
Ada penerbit yang menghargai sebuah buku tidak lebih dari harga sebuah ponsel kelas menengah. Ada pengguna jasa penulisan meskipun ia tokoh masyarakat atau pengusaha pemilik perusahaan besar, masih terbelalak begitu ditawari harga penulisan sebuah buku. Mereka masih mengira menulis sebuah buku itu tidak boleh lebih dari 7 digit.Â
Jika dikatakan bahwa jasa menulis biografi/autobiografi itu minimal Rp50 juta untuk satu buku, banyak yang ternganga. Apalagi jika dikatakan untuk kategori profesional, jasa penulisan buku itu dapat mencapai ratusan juta rupiah, mungkin ada yang pingsan.Â
Untuk sampai pada taraf penulis jasa, seorang penulis tentu sudah harus makan asam-garam dan pahit-getir dalam menulis. Ada ribuan jam yang ia habiskan dalam berlatih menulis serta mengasah kemampuannya. Daniel Coyle penulis buku Talent Code yang terkenal dengan konsep keberbakatan dan myelin menyebutkan bahwa pelatihan mendalam (deep practice) x 10.000 jam = keterampilan kelas dunia.Â
Demikian pula saat seorang penulis profesional diminta menjadi instruktur atau narasumber pelatihan menulis, banyak yang menghargai tidak semestinya. Padahal, pengetahuan dan keterampilan yang dibagikan sang penulis itu adalah pengetahuan dan keterampilan yang bakal menyelamatkan banyak orang dan banyak organisasi.Â
Saya setuju dengan pendapat master penulis nonfiksi William Zinsser. Menulis itu tidak gampang, menulis itu membosankan, dan menulis itu berat ... kamu nggak kan kuat (lho kok jadi Dilan?). Maka insaflah jika hendak memasuki zona menulis, Anda akan memasuki zona mewah yang siapa pun boleh memasukinya dengan syarat paham betul apa risiko-risiko menulis itu. Karena itu, tidak semua tahan dengan zona menulis. Selebihnya memilih sebagai hobi dan berfilsafat: Saya menulis untuk diri sendiri, terserah orang lain mau paham apa nggak.
Apa risiko menetapi zona menulis? Peringatan: Menulis dapat menyebabkan kebotakan dan kacamata tebal ....Tentu saja bukan itu, melainkan menulis akan menyeret Anda pada kecepatan waktu, menggulung Anda pada gelombang ide, serta menyesatkan pikiran dan perasaan Anda di rimba kata-kata. Jadi, Anda harus survive atau bahasa Indonesianya menjadi penyintas.