Memang sungguh terlalu jika sampai sekarang profesi di bidang perbukuan tidak memiliki SKKNI alias Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Ketiadaan SKKNI juga berujung pada ketiadaan sertifikasi dan lembaga sertifikasi profesi (LSP) yang dapat memastikan bahwa profesi di bidang perbukuan diakui dan dihargai. Padahal, industri perbukuan di Indonesia telah bertumbuh kembang sejak masa penjajahan Belanda.
Tahun 2017 merupakan tonggak sejarah bagi dunia perbukuan di Indonesia. Pemerintah dan DPR telah mengesahkan UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Di dalamnya diakui 10 pelaku perbukuan, yaitu penulis, penerjemah, penyadur, editor, ilustrator, desainer, penerbit, pencetak, toko buku, dan pengembang buku elektronik. Namun, tidak semua pelaku perbukuan dapat digolongkan sebagai profesi perbukuan. Di antara para pelaku itu ada yang merupakan pelaku usaha alias lembaga bisnis, yaitu penerbit, pencetak, dan toko buku.
Inisiatif awal untuk menyusun SKKNI bidang penerbitan buku ini dimulakan dari asosiasi profesi perbukuan dan Kemenkominfo. Pada tanggal 10-12 November 2017 bertempat di Hotel Santika Depok, Balitbang SDM, Pusat Pengembangan Literasi dan Profesi SDM Komunikasi, Kemenkominfo, menggelar kegiatan Workshop Penyusunan Peta Okupasi Bidang Komunikasi. Hadir dalam kegiatan tersebut perwakilan dari asosiasi dan lembaga pendidikan, yaitu Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI), Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro), dan Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia).
Bidang Penerbitan (Buku) dan Fotografi mendapat kesempatan dalam kegiatan ini untuk menyusun peta okupasi. Apa itu peta okupasi? Peta okupasi adalah pemetaan area bidang pekerjaan dan profesi yang terdapat di area tersebut. Kemenkominfo memang salah satu kementerian yang aktif menyusun peta okupasi, terutama di bidang TIK.
Mengapa penerbitan  juga masuk ke Kemenkominfo? Di dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), penerbitan masuk ke dalam ranah Komunikasi di bidang Aktivitas Penerbitan. Karena itu, penerbitan buku juga menginduk ke Kemenkominfo dari sisi aktivitas industrinya. Di sisi lain, penerbitan juga menjadi mitra bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Riset Dikti, dan Badan Ekonomi Kreatif.
Area fungsi penerbitan berdasarkan draf peta okupasi penerbitan dibagi dua yaitu Penulisan dan Penerbitan Buku. Penerbitan terbagi dua lagi menjadi Penyuntingan dan Perwajahan. Pada penulisan terdapat profesi-profesi sebagai berikut: penulis novel umum (dewasa), penulis novel anak, penulis buku teks/sekolah, penulis buku teks pendidikan tinggi, penulis buku referensi, penulis buku panduan, penulis biografi/autobiografi, penulis buku sejarah, penulis buku agama, penulis buku sains/ilmiah populer, dan penulis buku anak (nonfiksi).
Pada penerbitan buku terdapat profesi, seperti korektor (proof reader), editot akuisisi (acquisition editor), editor substantif (substantive editor), editor pengembang (development editor), pengatak buku (layouter), desainer buku, perajin buku (book packager), penerbit mandiri (self publisher), dan agen sastra (literary agent). Jadi, terbayang begitu banyak SKKNI bidang penerbitan buku yang harus disusun.
Draf peta okupasi ini bakal menjadi acuan penyusunan SKKNI di bidang penulisan, khususnya penulisan buku yang berarti menjadi implementasi amanat UU Sisbuk tentang penjaminan mutu buku. Ke depan para penulis buku yang menjadikan penulisan buku sebagai kompetensi memang harus disertifikasi, terutama bagi penulis buku pendidikan.Â
Saya yakin akan ada juga pro dan kontra soal ini seperti terjadi pada bidang-bidang lainnya. Ya, ngapain sih penulis disertifikasi? Seorang tokoh pernah mengatakan bahwa standardisasi memerlukan kerelaan bagi pelaku yang menjalani suatu profesi. Namun, tidak semua pelaku akan rela dengan standardisasi sehingga menjadi pilihan bagi yang bersangkutan apakah ia memerlukan pengakuan terhadap kompetensinya secara nasional dan resmi atau tidak.
Namun, dalam rangka menghadapi kompetisi secara global, standardisasi dan sertifikasi adalah mutlak dilakukan. Bukan tidak mungkin bidang penerbitan ini juga ditargetkan oleh negara lain, apalagi beberapa negara telah membuka pendidikan tinggi ataupun kursus bahasa Indonesia. Artinya, mereka juga dapat menguasai bahasa Indonesia dan bekerja di bidang penerbitan di Indonesia.