Medsos memberikan pancingan untuk kita berkomentar tentang status yang dituliskan oleh orang lain tentang dirinya atau tentang orang di luar dirinya. Pancingan itulah yang sering kali menggerakkan persepsi awam kita. Tanpa pikir panjang, kita berkomentar, membagikan, ataupun menulis status baru tentang informasi dan peristiwa yang tidak kita terima dan ketahui secara utuh itu.
Saya mengambil contoh kejadian yang saya alami sendiri ketika ada penulis buku anak yang dicerca sedemikian rupa di medsos karena bukunya yang terbit berkonten tidak patut. Orang tidak mau tahu apa latar belakang si penulis menulis buku itu dan bagaimana prosesnya. Saya hampir terpancing dengan persepsi saya untuk turut juga menghakimi si penulis, tetapi karena saya mengenalnya maka saya mengumpulkan informasi terkait buku itu. Alhasil, saya dapat menyampaikan persepsi saya di dalam rapat pemerintah yang membahas tentang itu. Saya tidak katakan persepsi saya objektif, tetapi saya ingin menunjukkan bahwa sangkaan orang terhadap si penulis tidak semuanya benar.
Sulit rasanya untuk dapat menahan diri dari berkomentar tentang peristiwa yang lagi "in" karena menyangkut kekinian dan menyangkut juga harapan kita terhadap pandangan orang lain tentang diri kita. Makanya "permainan" persepsi adalah perang para prajurit media sosial yang memang disiapkan khusus untuk itu: menggeser persepsi orang dari kebenaran.
Saya kira penyadaran tentang persepsi ini juga sudah sering diingatkan dan ditulis oleh orang lain. Bagi saya pribadi, menimbang aktivitas di media sosial sangatlah berharga untuk menyehatkan persepsi saya, terutama terkait respons terhadap sesuatu. Umpan-umpan pancingan mulai tidak berselera saya makan begitu saja. Saya lebih memilih "berbaik sangka" tentang tabiat orang-orang yang tiba-tiba melakukan keburukan dan disebarkan di media sosial---boleh jadi mereka tengah mengalami sesuatu yang mengguncang hidupnya meskipun tidak seluruhnya menjadi alasan pembenaran sikapnya.
Ranjau persepsi ini yang makin banyak ditebar di media sosial dan juga portal-portal berita "abal-abal", bahkan juga portal berita resmi dapat juga memainkan persepsi yang keliru karena persepsi jurnalisnya juga keliru.Â
Nah, opini adalah buah dari persepsi dan kadang menjadi ukuran kadar wawasan kita. Malu kita ketika dituliskan ternyata itu tidak benar (karena salah data, salah fakta, dan salah sangka) sehingga buru-buru kita meminta maaf. Namun, yang sudah dimuntahkan itu pasti berbekas dan tetap berbau. Maka saya memilih untuk tidak sengaja memualkan diri dengan persepsi dari orang lain sebelum mengecek betul kebenaran dan kepatutannya, sekaligus kepentingannya jika saya beropini tentang hal tersebut.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H