Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan featured

Menyusuri Liku Sejarah Buku

6 Mei 2017   09:03 Diperbarui: 23 April 2018   22:55 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Fachmy Casofa

Buku yang saya tulis dan susun ini segera memperlihatkan betapa persoalan buku di Indonesia ini adalah persoalan pelik yang tidak pernah usai dituntaskan masalahnya karena akan sia-sia jika dilakukan secara parsial tanpa cetak biru. Bahkan, keluhan para penerbit dan kalangan perbukuan sudah ibarat lagu lama yang tidak pernah terasa easy listening. Karena itu, selayaknya kita dapat belajar dari sejarah dan tidak serta merta enggan belajar dari sejarah. Lucunya kadang "orang-orang buku" itu berbusa-busa bicara buku, tetapi ia sendiri enggan membaca buku.

***

Emosi saya terlibat dalam penulisan buku yang saya beri judul Membangun Buku Menjadi Kubu (meminjam quote dari pelukis Jeihan) ini secara mendalam. Pasalnya, langsung ataupun tidak langsung saya pernah terlibat juga dalam beberapa proyek pengadaan buku sebagai penulis dan editor. Seperti halnya proyek PBMB, buku saya untuk mata pelajaran bahasa Indonesia SMP lolos atas nama sebuah penerbit. Pada waktu itu, saya juga sempat mempertanyakan imbalan yang saya dapat (hanya belasan juta) kepada penerbit untuk proyek bernilai miliaran itu. Agak berdebat, akhirnya imbalan saya dinaikkan menjadi Rp50 juta kala itu meski itu masihlah sangat kecil. Kondisi inilah dalam posisi saya sebagai penulis yang kini memimpin Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia harus diperjuangkan ketika ada penerbit yang semena-mena dalam menghargai hak kekayaan intelektual orang lain.

Buku bahasa Indonesia saya untuk SD yang diterbitkan Grafindo juga dinyatakan lolos dalam seleksi BSE oleh Pusbuk. Namun, Grafindo menolak menjual hak cipta buku itu kepada pemerintah karena imbalan yang tidak sebanding dengan jerih payah menyiapkan buku tersebut. Bayangkan buku BSE itu setelah jadi milik pemerintah, diperbolehkan siapa saja untuk menggandakan dan menjualnya. Saya pernah melihat bagaimana sebuah penerbit yang juga menjadi distributor buku menjadi kaya karena berjualan buku BSE. Sementara itu, penulisnya sudah dipastikan tetap terpuruk.

Jadi, saya terlibat secara historis dengan kedua proyek fenomenal yang kemudian menjadi kontroversial. Karena itu, saya juga menuliskannya dengan kehatian-hatian berbasis data karena bagaimanapun menulis sebuah bentangan sejarah mau tidak mau kita akan bersua dengan sejarah yang menggembirakan dan sejarah yang menyedihkan, bahkan teramat tabu untuk diungkapkan.

Tidak mudah untuk menelusuri liku sejarah buku pendidikan di Indonesia dari data yang berserak dan terkadang tidak ada dokumentasinya secara rapi. Saya terkadang harus membangun kembali (merekonstruksi) patron-patron sejarah untuk menemukan benang merah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam setiap pergantian masa. 

Walaupun begitu, pekerjaan ini adalah pekerjaan menyenangkan dan segera rampung dan menjadi kado untuk Hari Buku Nasional. Insya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun