Hari kedua lebaran 1437 H pagi saya mulai duduk lagi menghadap laptop dan meraih beberapa buku untuk melecutkan inspirasi. Sebuah buku yang beberapa bulan lalu saya beli kemudian saya ambil dari rak. Nama penulisnya tidak terlalu akrab di ujung lidah maupun di telinga, Gobind Vashdev--seperti nama orang Eropa Timur. Nama pemberi pengantar sangat dikenal akrab yaitu Gede Prama. Gobind melabeli dirinya dengan jenama HeartWorker. Bukunya berjudul Happiness Inside terbitan Noura Books tahun 2012 saya pilih untuk menambah referensi menulis saya tentang bahagia.Â
Gobind menulis butiran-butiran esai tentang bahagia yang dimuat di Majalah Psikologi Plus sejak kali pertama terbit 10 Juli 2006. Gobind adalah salah satu sosok yang diburu untuk menuliskan segala hal tentang psikologi oleh majalah itu. Kala itu ia tengah bertugas di Bantul sebagai relawan yang membantu anak-anak pascagempa Yogyakarta. Gobind ditawari untuk menjadi salah seorang kontributor meskipun ia sangat tidak yakin mampu melakukannya karena ia sama sekali belum pernah menulis.
"Saya belum mau percaya jika buku ini belum benar-benar hadir di tangan saya. Masih terekam dengan jelas, tiga tahun yang lalu, hanya untuk membalas sebuah email, berjam-jam waktu saya perlukan, tangan terasa kaku, pikiran ragu ditambah riuh dengungan dalam kepala yang bernada, 'saya tidak dapat menulis'.Â
Suara ini berakhir tepat seminggu setelah saya bertemu dengan Mas Petrus dari majalah Psikologi Plus yang memberi paksaan yang ber-deadline tujuh hari kepada saya setelah 'gagalnya' ia mewawancarai saya di Bantul. 'Keindahan dalam Bencana' adalah tulisan pertama ...." demikian Gobind mengawali tulisannya dalam pendahuluan buku bertajuk "Paksaan yang Indah".
Gobind salah seorang yang menulis karena dipaksa atau terpaksa. Ia mengibaratkan seolah dilempar kembali pada masa-masa berada di bangku sekolah--ditagih oleh guru tentang PR yang ditugaskan. Itu cara alam memaksa menurutnya sebagai seorang "autodidak". Sampai kemudian ia berguru juga kepada Andrias Harefa, Edy Zaqeus, dan Her Suharyanto di Writer Schoolen.
Tulisan di buku ini dibuka dengan artikel berjudul "Tubuh dan Pikiran Apa yang Anda Inginkan?" Pertanyaan ini setahu saya merupakan pertanyaan standar bagi mereka yang melakukan coaching kepada kliennya. Apa sebenarnya yang Anda mau? Gobind membuka dengan ilustrasi seorang ibu yang bertanya melalui narasumber di radio tentang sulitnya ia mengaplikasikan apa-apa yang tertulis di dalam buku-buku motivasi ataupun seminar-seminar. Pendeknya, sulit untuk menjadi orang yang baik dan benar itu dalam tataran praktis. Gobind lalu menjelaskan sebuah sistem kepercayaan, nilai-nilai, dan aturan yang berkembang di dalam dirinya layaknya sebuah pohon.
Secara keseluruhan tulisan Gobind renyah untuk dibaca meskipun pada beberapa tulisan masih terdapat paragraf yang sangat panjang. Gobind salah seorang pekerja keras saya kira dalam penulis selain pekerja hati yang menjadi label dirinya. Paksaan menulis membuahkan banyak tulisan apik, apalagi ia menggunakan kata ganti "saya" dalam tulisannya sebagai ciri kental sebuah esai sehingga terasa subjektif dan lebih akrab dengan pembacanya.
Lalu, apa hubungan saya dan Gobind? Saya memang tidak mengenalnya, kecuali tiga gurunya di Writer Schoolen yang melatihnya. Namun, bukunya salah satu yang saya ambil sebagai referensi untuk menulis buku tentang bahagia. Saya juga terpaksa menulis buku tentang bahagia dengan pencarian yang sangat lama. Rasa-rasanya naif kalau saya menulis tentang bahagia sementara saya masih bertanya pada diri sendiri: Apakah saya sudah berbahagia? Akhirnya, terjawab juga bahwa semua orang relevan menulis tentang bahagia dalam sudut pandangnya masing-masing, baik berdasarkan pengalaman empiris maupun melalui riset akademis.
Bahagia adalah sebuah perjalanan yang menghasilkan anugerah dan musibah. Anugerah belum tentu menghasilkan kebahagiaan, begitupun musibah. Persepsi yang membuat kita dapat mengasosiasikan anugerah sebagai derita atau musibah sebagai bahagia. Itu sekelumit yang saya pahami ketika membaca dan merenungkan beberapa konten buku. Seseorang yang kehilangan sandal di masjid boleh jadi sangat menderita. Namun, seseorang yang kehilangan kakinya akibat kecelakaan mudik, boleh jadi sangat berbahagia. Bagaimana boleh berlaku seperti itu? Itulah misteri kebahagiaan yang saya dan Gobind ungkapkan melalui tulisan dengan cara berbeda (mungkin).
Jadi, bahagia adalah manusiawi. Sama halnya dengan menulis juga manusiawi. Mengapa? Hewan tidak dapat menulis, namun manusia dengan modalitas yang dimilikinya yaitu pancaindra berikut akal pikiran mampu menuliskan sesuatu dari pikiran dan perasaannya serta apa yang telah dialaminya. Menulis untuk bahagia tidaklah mustahil dan bahagia untuk menulis juga tidak berlebihan seperti yang berlaku pada Gobind, saya, dan juga para Kompasianer. Levelnya saja yang berbeda-beda.
Ada yang merasa berbahagia menulis dengan membongkar segala hal; ada yang merasa berbahagia menulis untuk membungkam orang lain; ada yang merasa berbahagia menulis untuk membagi ilmu pengetahuannya; ada yang merasa berbahagia menulis untuk menunjukkan kepakarannya; ada yang merasa berbahagia menulis karena ia memang ingin menulis. Sah-sah saja jika kita terpaksa menulis karena kita memilih untuk berbahagia. Salah satu yang tidak terbantahkan untuk berbahagia apabila menulis didasari oleh cinta.