[caption id="attachment_290678" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption] Kabar kurang sedap muncul dari industri buku digital Indonesia. Sebuah toko buku digital (e-Book store) pertama di Indonesia ini akhirnya mengumumkan berhenti operasional kepada para pelanggannya. Rasa kehilangan pun tampaknya akan dirasakan pelanggan setia buku-buku digital ini, terutama mereka yang selalu menunggu buku-buku terbitan asing dalam format e-Book. Toko buku elektronik itu adalah Papataka.com. Saya mengenalnya kali pertama tahun 2008 ketika mereka membuka booth di Pesta Buku Jakarta. Saya begitu tertarik ketika mereka mengenalkan perangkat e-Book Reader buatan Korea yang kala itu berharga Rp 2 jutaan. Ratusan mungkin juga ribuan judul e-Book gratis telah ditanamkan di dalamnya dan saya pun masih bisa mendapatkan beragam e-Book lain dengan "harga miring".  Waktu itu Papataka baru mau menjajal, menjual e-Book lokal sehingga mereka pun hadir di pameran buku. Papataka.com akan menghentikan operasionalnya pada 30 September 2013. Begini bunyi pengumuman yang terpampang di situs mereka. YTH Pelanggan, Pada tanggal 30 September 2013, Papataka.com akan berhenti operational sehingga kami tidak lagi melayani proses pengunduhan. Bagi pelanggan yang sudah pernah membeli ebooks di papataka.com kami sarankan untuk segera mengunduh ebooks tersebut dan menyimpanya.... Memberhentikan bisnis ketika kondisi sudah tidak kondusif memanglah pilihan pahit yang harus dilakukan seorang pengusaha. Saya pun pernah mengalami hal-hal seperti ini dan dalam keadaan tertentu bertekad untuk menutup saja bisnis yang saya lakoni. Tentulah ada latar belakang di balik semua ini, termasuk mengalihkan konsentrasi bisnis pada hal lain yang lebih menguntungkan. Berkaca dari kasus Papataka karena saya berada di industri ini (perbukuan) muncul sebuah pertanyaan apakah bisnis e-Book memang tidak bisa dikembangkan di Indonesia? Satu patah satu tumbuh memang terjadi dan ini bukan soal harmonisasi. Pada akhir September 2013 Papataka menyatakan berhenti beroperasi, justru pada 1 Oktober 2013 nanti Bukuon IM2 yang disokong Indosat akan diluncurkan. Bukuon IM2 resmi menjadi e-Book store baru yang digerakkan perusahaan operator selular seperti halnya Qbaca Telkom. Satu yang kerap menjadi pertanyaan para penerbit buku yang ingin merambah "kebun kecil" bernama e-Book Business adalah bagaimana model bisnis usaha ini. Kita mungkin bisa memodel Amazon.com yang sukses memasarkan e-Book dan menggandeng para self-publisher. Merasa digjaya dengan penjualan e-Book dan buku kertas via daring (online) ini, Amazon pun merasa perlu mendirikan penerbit sendiri bernama Amazon Publishing dengan "membajak" seorang tokoh penerbitan (Kirshbaum).Kirshbaum kemudian menjadi otak yang mengembangkan model bisnis penerbitan dengan konsentrasi penerbitan e-Book. E-Book memang terlihat menggiurkan dengan pertumbuhan pengguna tablet dan smart phone, terutama di Indonesia sendiri. Aplikasi e-Book reader telah ditanamkan dalam perangkat-perangkat canggih tersebut. Banyak juga platform yang dikembangkan untuk mengonversi fail buku ke dalam buku elektronik, seperti ePub 3, HTML 5, dan PDF. Tidak tanggung-tanggung, bahkan Apple sendiri membuat aplikasi gratis untuk membuat e-Book sendiri bernama i-Book Author. Alhasil, bakal ramai dan semakin mudah bagi seseorang untuk membuat e-Book dan mereka pun memerlukan e-Book store untuk menjualkan hasil karya mereka. Tentulah ini ladang bisnis baru, apalagi harga rata-rata e-Book bisa lebih murah 30%-50% dari buku cetak. Menurut saya pengelolaan bisnis e-Book memerlukan strategi dan seni tersendiri dan di dalamnya juga harus berkiprah seseorang yang paham dunia penerbitan. Jadi, di dalam pengelolaan e-Book store juga harus ada yang paham industri buku, terutama dalam menggerakkan komunitas-komunitas pembaca dan penulis. Bagaimana e-Book tetap menjadi "makhluk baru" yang harus dikenalkan secara meluas. Meskipun tablet dan smart phone banyak digunakan orang Indonesia, mereka lebih suka mengunduh games ke dalam perangkat miliknya daripada e-Book. Ya, pertama mungkin tidak tahu di mana dan bagaimana mengunduhnya; kedua, belum paham betul bahwa e-Book yang mereka tanam bisa sangat berguna sebagai referensi cepat.
***
Berhentinya Papataka memang menyisakan pertanyaan tentang potensi penjualan e-Book sendiri di Indonesia. Pastilah ini juga menjadi pembicaraan hangat para pengelola e-Book store, seperti Scoop, Qbaca, Wayang Force, e-Rosda, atau Buqu Indonesia. Namun, ledakan pengunduh e-Book belumlah terjadi di Indonesia dan itu yang dinantikan dengan "menanam" informasi sekaligus edukasi untuk para pembaca Indonesia.[BT]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H