Kalau secara kata, waswas itu memang bukan kata ulang yang berasal dari kata dasar was, lalu diulang menjadi was-was. Waswas adalah satu kata. Hasilnya dalam tindakan dipanjangkan menjadi waspada.
Hampir ada persamaan antara waswas dan cemas. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, waswas dipadankan dengan ragu-ragu, kurang yakin, khawatir, dan curiga. Apakah Anda sekarang waswas? Apa yang Anda waswaskan? Mungkin karena ke dalam otak Anda ada yang meng-install kata-kata AWAS.
“Awas lo kalau kamu percaya dengan orang itu, hati-hati!”
“Awas lo, Pak anu gak suka dengan caramu itu!”
“Awas lo, anakmu itu sudah terlihat tanda-tanda bermasalah!”
“Awas lo, kamu bisa-bisa di-PHK!”
Fenomena waswas yang kita lihat kemudian menggumpal menjadi takut–seakan menafikan ada Tuhan yang Maha Melindungi. Waswas karena memang pikiran kita yang terbatas, bukan sebaliknya pikiran positif–berkelebihan sehingga mengundang maslahat.
Dari seorang master coach soal attitude, saya diberi tahu bahwa ada yang disebut pikiran positif (positive thinking) sebagai sebuah kelebihan kapasitas berpikir sehingga memberikan manfaat untuk orang banyak (maslahat). Sigap menolong orang itu termasuk kapasitas kelebihan pikiran yang dimiliki orang-orang tertentu.
Nah, yang menarik kita keliru menempatkan kebalikannya yaitu menjadi negative thinking. Kalau demikian, ada orang-orang yang kurang kapasitas pikirannya sehingga tidak bisa berbuat yang manfaat–benarkah ada orang-orang yang kurang pikiran dalam arti mungkin volume otaknya disedikitkan oleh Yang Mahakuasa? He-he-he ternyata kebalikannya adalah limited thinking atau pikiran yang terbatas bukannya negative thinking. Iri, dengki, rendah diri, sombong, adalah limited thinking–sebab Tuhan memberikan potensi otak itu sejatinya tidak terbatas (think, insthink, intuition, feeling).
Karena pikiran yang terbatas
Maka kita begitu responsif terhadap kata AWAS
Lalu pikiran dan perasaan yang timbul adalah WASWAS
Tindakan menjadi penuh curiga dan WASpada
Karena itu, muncul frasa MAWAS DIRI
Waswas memang mesti dinetralisasi menjadi ikhlas. Kalau tidak dinetralkan, berbuah menjadi stress yang menyakitkan. Masalahnya ikhlas adalah sikap penting dalam positive thinking. Artinya, seseorang yang waswas perlu naik kelas menjadi orang yang ikhlas. Pengalaman adalah sahabat yang terbaik, ilmu adalah alat yang memudahkan, dan nasihat yang menghunjam adalah obat paling mujarab.
Zaman Pak Harto dulu malah digembar-gemborkan jargon MAWAS DIRI–dalam kamus ‘mawas’ itu bermakna kera besar atau orangutan. Maka kita memasukkan ‘kera besar’ ke dalam diri kita sehingga benar-benar menjadi orang yang AWAS, padahal sebenarnya WASWAS. He-he-he bukankah orangutan kini merupakan binatang yang selalu waswas karena populasinya terus digerusi oleh orang-orang serakah, bahkan dikejar-kejar dan dibakar?
Tulisan ini cuma mengingatkan soal waswas. Pertama, yang baku itu adalah ‘waswas’ bukan ‘was-was’. Kedua, waswas itu adalah buah dari pikiran terbatas. Ketiga, kita bukan seekor kera besar yang benar-benar waswas karena takut tewas.
Semoga berkewas, eh berkesan.[]