Sekelebat Cerpen | Gembira Setelah Berkabung
"Terima kasih banyak Mbah Soleh"
"Terima kasih sama-sama Pak Dul"
Pak Dul turun dari mobil dan Mbah Soleh melanjutkan perjalanan ke Pasuruan.
Delapan hari Pak Dul pergi bersama Mbah Soleh, delapan hari pula warung kopinya tutup. Tetangga kanan-kirinya dan terutama sanak-keluarganya geger mencari-cari Pak Dul. Untung sebelum lapor ke Polisi, ada yang sempat melihat kepergian Pak Dul dengan Mbah Soleh. Coba seandainya tak ada yang tahu tentang kepergian Pak Dul dengan Mbah Soleh, pasti berita yang tersebar menjadi bermacam-macam versinya, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan letak warung kopi Pak Dul di samping kuburan.
"Pak, pak!...kalau pergi lama mbokyao (mestinya) bilang dulu biar tidak pada kuatir seperti ini?" kata anak sulungnya sambil sedikit menahan mangkel (kesal).
"Lha bapak tidak tahu kalau akan lama perginya kok Nduk" Pak Dul mencoba memberikan alasan.
"Mosok tidak tahu pak, pak!"
"Ya siapa yang tahu Nduk, kalau orang yang dikunjungi ternyata pas hari meninggalnya"
"Siapa sih Pak orang yang meninggal tersebut?" tanya anak sulung Pak Dul dengan raut muka yang sudah tidak menunjukkan kekesalan hati lagi.
"Sahabat karibnya Mbah Soleh, Nduk"
"Oh ya pantes lama ya pak...tapi lain kali bilang ya pak kalau mau pergi-pergi?"
"Ya Nduk" jawab Pak Dul singkat karena ada sesuatu yang harus dia kerjakan.
Sesuatu yang harus dia kerjakan itu adalah uang ganti rugi 4 juta rupiah dari Mbah Soleh. Dia ingin menghitungnya lagi dan lagi. Hatinya sangat gembira setelah berkabung. Gembira karena ada hitung-hitungannya mulai dari  menemani Mbah Soleh berangkat ke Bukit Pegat hingga pulangnya lagi sampai di Surabaya, totalnya delapan hari dengan per harinya dihargai lima ratus ribu rupiah. Angka yang cukup besar bagi Pak Dul, karena kalau jualan kopi, untung bersihnya tidak bakalan sampai sebesar itu. Kegiatan lain yang juga ingin dilakukan pak Dul setelah nanti puas menghitung uangnya tersebut  adalah memenuhi keinginan yang sudah lama diidam-idamkannya. Keinginan apakah itu? Pak Dul tidak berani mengungkapkan keinginan tersebut dengan lisannya maupun dengan hatinya, tapi dia ungkapkan dengan cara terus-menerus tersenyum sendiri di dalam warung kopinya yang sepi.
(gembira setelah berkabung, 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Gembira Setelah Berkabung. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!