Sekelebat Cerpen | Menjerit
Kebetulan di luar hari sabtu dan minggu ada tanggal merah dan cuti bersama.
Kalau saya tak pulang kasihan Rohimah, dia pasti sudah tahu tanggal apa saja yang merah dan cuti bersama. Rasa rindunya membuat dia rajin mencermati kalender karena hanya pada tanggal merah dan cuti bersama tersebut kerinduannya dapat terpenuhi. Sementara ada agenda saya yang telah lama terbengkelai. Agenda untuk mengaji Bab " Howo Songo" Â dengan Mbah Romli. Juga ada agenda ngopi di Warkop yang telah lama tidak saya kunjungi sehingga sudah lama sekali saya tidak bertemu Mbah Soleh.
Antara rasa kasihan dengan Rohimah versus agenda pertemuan dengan Mbah Romli dan Mbah Soleh benar-benar menjadi dilema bagi saya. Semuanya sama-sama sangat pentingnya bagi saya. Kecuali kalau Rohimah sudah menetap tinggal bersama di Surabaya bisa sekalian saya ajak berguru sama-sama kepada Mbah Romli dan Mbah Soleh.
Belum sempat memutuskan pilihan mana yang akan saya pilih tiba-tiba hape saya berbunyi dan setelah saya lihat itu panggilan telepon via WA dari Rohimah, calon pendamping hidup saya yang sangat saya cintai.
"Mas Bambang tidak pulang, ta?....saya kangen banget, mas" ada getaran suara seperti hendak menangis ketika Rohimah mengucapkan "saya kangen banget, mas".
Kontan saya jawab, "Iya sebentar lagi dik, saya pulang".
"Mas Bambang tidak kangen, ta?"
"Saya kangen, dik"
"Kangen apanya, mas?"
"Kangen semuanya, dik"
"Kalau dengan mata saya, kangen nggak mas?"
"Kangen, dik"
"Kalau dengan hidung saya, kangen nggak mas?"
"Juga kangen, dik"
"Kalau dengan kening saya yang pernah Mas Bambang ciumi, kangen nggak, mas?"
"Pasti kangen, dik"
"Kalau dengan bibir saya, kangen nggak, mas?"
"Pokoknya seluruh titik yang ada di tubuhmu, saya kangen dik"
"Sumpah?"
"Sumpah!"
"Semua titik di tubuhku ini nantinya akan menjadi milik Mas Bambang...perlakukanlah dengan penuh kelembutan dan penuh perasaan kasih sayang ya Mas ya"
"Pasti akan saya perlakukan dengan baik, dik...percayalah saya bukan orang yang kasar kok dik"
"Iya mas saya percaya. Cepat pulang ya mas, saya tunggu di depan Gapuro yang bertuliskan Segoropuro"
"Ditunggu di rumah saja dik....kasihan nanti kepanasan dan kena debu jalanan"
"Tidak apa-apa mas, karena saya sudah kangen banget ingin cepat-cepat menyambut kedatangannya Mas Bambang"
"Iya sudah kalau memang maumu begitu...tapi jangan salahkan saya ya kalau kulit putihmu itu menjadi hitam gara-gara kepanasan dan bercampur debu jalanan....... saya tidak rela kalau wajah cantik imutmu itu jadi gosong menghitam"
"Nanti saya akan pakai payung kok mas...dan pakai jilbab yang menutupi wajah dan seluruh tubuh kecuali bagian mata"
"Baguslah kalau begitu, dik....ini saya sudah di atas "Ninja" dan earphone sudah saya pasang biar bisa ngobrol sambil jalan"
"Aaaaa!!!...mas tolong mas....aaaaaaa!!!!" Rohimah tiba-tiba menjerit sambil melompat-lompat minta tolong. Hape yang dipegangnya terlempar jauh.
"Dik?...ada apa dik?" Panggilan dari Mas Bambang tidak ada jawaban.
"Dik? kenapa dik? tolong jawab, dik" Tetap tidak ada jawaban dari Rohimah.
Ada perasaan tidak enak berupa rasa khawatir kalau terjadi apa-apa pada diri Rohimah. Suara jeritan Rohimah menghilang bersama menghilangnya suara balasan dari Rohimah. Hape tidak bisa dihubungi lagi.
(menjerit, 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Menjerit. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!