Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - (Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekelebat Cerpen: Puisi Indah

19 Maret 2024   08:00 Diperbarui: 19 Maret 2024   08:02 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen pribadi 

Sekelebat Cerpen | Puisi Indah

Khusus diskusi yang tergolong serius, maka saya  biasanya akan mencari atau memilih tempat yang juga serius. Tempat yang serius menurut pemahaman saya adalah tempat yang sakral. Alasan  memilih tempat yang sakral ini, karena kalau di tempat sakral maka dengan sendirinya atau secara otomatis diskusi kami tidak main-main, tidak iseng, dan tidak asal diskusi.

"Mas Bambang, minggu pagi besok enaknya kita ke mana ya Mas?" Tengah malam Indah kirim pesan WA ke saya.

Saya belum tidur karena masih mencoba melanjutkan tulisan cerpen yang sempat mandek karena ada tugas mendadak dari kantor. Meskipun kegiatan menulis ini sangat penting bagi saya, tetapi tetap saya taruh di prioritas nomor dua setelah tugas pokok pekerjaan kantor.

Waktu itu tugas kantor sudah selesai saya submit sehingga saya bisa melanjutkan menulis cerpen.

Prioritas menulis cerpen inipun masih bisa saya geser lagi menjadi prioritas nomor tiga jika ada hal penting yang datangnya dari Indah. Karena menurut saya, Indah lebih penting dari menulis cerpen ini.

Sekarang  aktivitas menulis saya hentikan demi membalas WA dari Indah. Pesan WA dari Indah tidak saya balas dengan pesan WA, tapi saya klik tanda telpon, agar lebih interaktif dalam berkomunikasi.

"Halo, Assalamualikum, In."

"Wa alaikumsalam, Mas Bambang."

"Iya, In, tentang ke mana kita besok pagi, silahkan terserah Indah saja, saya manut, In?"

"Justru Indah yang ingin manut ke Mas Bambang"

"Acara santai atau ada yang perlu dibahas dengan serius, In?"

"Fifty-fifty, setengah santai setengah serius, Mas Bambang...hehehe"

"Tentang apa seh, In?"

"Tentang Puisi Indah, Mas Bambang."

"Puisi Indah atau puisinya Indah?"

"Puisi karya Indah, Mas Bambang."

"Oalah, saya kira puisi yang indah."

"Semoga puisinya Indah ini puisi yang indah ya, Mas Bambang?"

"Iya, In. Aamiin."

"Terus tentang tempatnya enaknya di mana ya, Mas Bambang?"

"Silahkan kalau Indah ada usulan tempatnya."

"Indah ikut pilihan tempat dari Mas Bambang saja ya Mas?"

"Iya, In, nanti akan saya coba pilihkan tempat yang pas ya, In?"

"Iya, Mas Bambang."

"Okey kalau begitu sampai ketemu besok pagi ya, In?....Assalamualaikum."

"Iya, Mas Bambang.....Wa alaikumsalam."

Setelah telpon saya tutup, saya putuskan untuk tidak melanjutkan lagi menulis cerpen karena konsentrasi saya sudah berubah. Berubah jadi memikirkan tempat terbaik atau yang paling pas buat acara besok pagi bersama Indah.

Hingga mata mengantuk berat, ternyata belum juga saya menemukan pilihan tempat tersebut, akhirnya  saya putuskan untuk istirahat tidur saja dulu, barangkali setelah bangun tidur pagi nanti akan dapat ide.

Bangun dari tidur, saya teringat tempat yang cocok buat diskusi yaitu Taman Cikapayang Dago. Taman ini dikenal memiliki atmosfir yang tenang dan syahdu. Jarak dari rumah kos juga tidak jauh. Saya segera menulis pesan WA ke Indah, "In, saya sudah dapat tempat yang cocok buat kita diskusi, di Taman Cikapayang Dago. Indah setuju nggak, In?."

Tidak lama langsung dibalas Indah, "Indah sangat setuju, Mas Bambang."

Setelah keliling sebentar melihat-lihat pemandangan alam di sekitarnya,  saya menyimpulkan bahwa area di Taman Cikapayang Dago ini cukup luas dan pepohonannya teduh rindang. Kami lantas duduk santai di bawah salah satu pohon yang rindang tersebut.

"Mas Bambang sayangku, barusan sudah Indah kirimkan ke WAG kita, Puisinya Indah, Mas Bambang."

"Iya, In, barusan bunyi notifikasinya juga sudah saya dengar."

Saya buka pesan WA dari Indah dan saya baca dengan serius puisi Indah tersebut.

Judul: "Andai Ku Mawar".

Andai Ku Mawar

andai ku mawar di rerimbunan semak belukar

yang hidup di dalam belantara pepohonan liar

di bawah matahari yang tengah bersinar

meskipun aku

di bawah matahari yang tengah bersinar

matahari itu

tak memberikan sinar buat mawar

akhirnya kuncup demi kuncupnya tak mekar

dedaunannya perlahan lahan layu tak segar

ketika batangnya tak mampu berdiri tegar

adakah yang sudi mempersunting mawar

(Karya Indah, Andai Ku Mawar)

Setelah membaca lengkap puisi Indah atau puisi karya Indah ini, saya merenung meresapi makna yang dialirkan lewat kata-kata dalam puisi ini. Indah nampak tersenyum meskipun diam. Saya tahu Indah sedang memberikan saya waktu untuk menggali makna dari puisinya ini.

Sekali lagi saya baca dan cermati puisi Indah ini, kemudian saya memberikan komentar singkat.

"Pesimisme yang ditutupi metafora."

"Iya betul Mas Bambang, pesimisme yang ditutupi metafora . Puisinya Indah ini termasuk yang berjenis Indirect Poem berbeda dengan puisinya Mas Bambang yang berjenis Direct Poem."

"Tapi kenapa rima dan irama serta diksinya seperti konvergen menuju satu pukulan makna tertentu, In?"

" Iya agar titik klimaks dari pesimismenya mudah ditangkap, tidak bias atau tidak ambigu, semua menuju ke satu makna. Makna seperti yang Mas Bambang sampaikan tadi, pesimisme yang ditutupi metafora."

"Apakah sekarang ini, Indah sedang seperti yang digambarkan dalam Puisi Indah tersebut?"

Saya menanyakan hal ini, sebab saya khawatir kalau Indah menganggap saya tidak sudi menikahi Indah atau mempersunting Mawar. Padahal saya sangat sudi sekali menikahi Indah asal kasus yang dialami Indah selesai dulu.

Apakah dengan melalui puisi itu, Indah menginginkan saya untuk nekat menikahinya walaupun masih belum selesai gugatan cerainya kepada Mas Toni?. Walaupun statusnya masih sebagai istrinya Mas Toni?.

Indah diam lama seperti sedang mencari jawaban yang tepat. Menurut saya, jika puisinya tersebut adalah sebuah karya dari suatu kejujuran, maka jawabannya adalah: ya.

Tapi bisa juga Indah tak menjawab dengan cepat "ya" karena Indah tak ingin menuntut saya untuk nekat menikahinya, dengan alasan dirinya masih sebagai istri orang lain.

(puisi indah, 2024)

Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Puisi Indah. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun