Sekelebat Cerpen | Melangkah Indah
Seperti biasanya, waktu untuk bertemu Indah dan waktu berjalan-jalan bersama Indah adalah waktu-waktu di luar hari kerja. Hari minggu dan hari tanggal merah atau sore setelah pulang kerja hampir selalu saya gunakan bersama Indah. Kecuali apabila memang tak dimungkinkan untuk bersama karena ada keperluan masing-masing. Tapi saluran komunikasi antara saya dan Indah selalu terbuka kapanpun dan di manapun. Saya dan Indah telah sepakat bahwa komunikasi sangat penting untuk memecahkan masalah. Masalah apapun yang terjadi antara saya dan Indah jangan sampai menutup saluran komunikasi. Komunikasi yang kami sepakati adalah komunikasi yang bersyarat. Syaratnya satu yaitu kejujuran.
Kalau tadi malam minggu, saya dan Indah membahas tentang penyesalan Indah atau penyesalannya Indah, pagi ini saya bersama Indah akan membahas atau mendiskusikan tentang karya literasi. Alhamdulillah Indah via WA sudah menyatakan setuju bahkan senang sekali karena budaya membaca dan diskusi yang terbangun saat menjadi mahasiswi dulu bisa tetap terhidupi sampai kini.
Kami sengaja mencari tempat yang agak jauh dan sakral di kawasan wisata religi Eyang Pangudar di Cikancung, Cicalengka. Tempatnya sejuk dan tenang, sangat memungkinkan untuk diskusi sesuai tema yang akan kami bahas nanti. Rencana diskusi baru akan kami lakukan setelah terlebih dahulu berziarah.
Indah dan saya berangkat dari tempat kos Indah, dan mengambil rute yang agak jauh yaitu rute Laswi-Buah Batu-Dayeuhkolot-Majalaya-Cicalengka.
Indah nampak ceria sekali. Di boncengan dia peluk erat punggung saya, kepalanya disandarkan di bahu kanan saya, mungkin untuk memudahkan mengobrol sambil jalan. Tangannya dilingkarkan ke perut saya, mungkin takut jatuh kalau sewaktu-waktu saya ngebut dan miring menikung. Dengan dagu yang menempel di bahu kanan saya, yang artinya mulut Indah dekat sekali ke telinga kanan saya, sehingga apa yang diucapkan atau dibisikkan Indah bisa saya dengar dengan jelas.
Entah sudah berapa kali selama dalam perjalanan ini, Indah membisikkan kalimat “Indah cinta banget sama Mas Bambang”, dan saya pun selalu membalas bisikannya dengan kalimat “ Saya juga cinta banget sama Indah”, supaya tidak ada masalah atau tidak menyinggung perasaannya. Karena pernah saya tidak segera membalas bisikannya itu yang berakibat Indah merajuk agak marah dengan mengatakan, “Mas Bambang kok nggak membalas, seh? Mas Bambang sudah nggak cinta lagi sama Indah ya?”. Barangkali ini yang disebut sebagai Etika Cinta. Ada semacam kewajiban untuk membalas ucapan cinta dari kekasih tercinta.
Alhamdulillah, akhirnya sampai ke tempat yang kami tuju.
Setelah beristirahat sejenak, saya dan Indah ke tempat wudhu, kemudian Sholat Sunnah, setelah itu Indah dan saya berpindah ke area ziarah untuk mendoakan ahli kubur bersama para peziarah lain.
Setelah dirasa cukup, Saya dan Indah keluar agak menjauh dari area ziarah dan mengambil tempat yang nyaman untuk berdiskusi.
“Silahkan, In...sudah saya kirim ke WAG” WAG dimana anggotanya hanya Indah dan saya saja, dengan nama Grup “Mas Bambang Indah”, yang menamai Grup tersebut, Indah.
“Iya, Mas Bambang. Ini sudah Indah buka dan sedang Indah baca.”
Saya biarkan Indah dengan serius membaca puisi saya ini:
Judul Puisi: Melangkah Indah
melangkah indah melangkah setelah
tahu ke mana arah kaki melangkah
melangkah indah melangkah setelah
tahu langkahnya itu akan berfaedah
melangkah indah melangkah
di jalan yang diridhoi Allah
melangkah indah melangkah
yang tertuntun hidayah
(karya mas bambang, melangkah indah)
“Hemmm...ini sepertinya Direct Poem ya, Mas?” Indah mengomentari dengan istilah “direct poem” yang baru saya dengar.
“Maksudnya, In?”
“Maksudnya, puisinya Mas Bambang ini berjenis puisi langsung. Diksinya tidak dilewatkan dulu melalui metafora.”
“Wah...siiiip, sepertinya Indah bisa jadi kritikus sastra yang piawai.”
“Terima kasih, Mas Bambang atas pujiannya. Kebetulan dulu Indah sewaktu mahasiswi ikut Grup Apresiasi Puisi.”
“ Okey, silahkan dilanjutkan lagi, In.”
“Kalau rimanya, menurut Indah sudah bagus, Mas, sudah membentuk musikalitas atau orkestrasi, meskipun iramanya agak monoton karena landai. Ini bisa dimaklumi karena temanya bersifat religi bukan tema orasi demonstrasi yang perlu retorika dan protes yang berapi-api.”
“Terima kasih, In...saya sepakat banget dengan hasil apresiasinya Indah.”
“Kalau dari tema dan maknanya, karena ini direct poem, maka siapapun bisa memahaminya dengan mudah, sehingga tidak perlu khawatir terjadi salah tafsir.”
“Alhamdulillah kalau begitu, In. Karena dalam menulis puisi yang saya utamakan adalah meminimalisasi risiko terjadinya salah tafsir.”
“Iya Mas Bambang, Indah sangat setuju kalau Mas Bambang mengutamakan hal tersebut.’
“Kira-kira layak nggak In kalau puisi ini kita wariskan ke anak-anak kita kelak agar dalam melangkah tidak salah.”
“Menurut Indah sangat layak. Dan Indah sangat senang dan bahagia sekali karena Mas Bambang sudah memikirkan arah langkah pendidikan anak-anak kita kelak, walaupun mereka belum Indah lahirkan dari benih cinta Mas Bambang.”
(melangkah indah, 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Melangkah Indah. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Kesucian Indah
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Menyentuh Indah
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Kesabaran Indah
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!