Sekelebat Cerpen | Penyesalan Indah
Malam minggu kali ini saya dan Indah sengaja tidak pergi jalan-jalan, tapi diisi acara apel ke rumah kos Indah. Itu sesuai saran Indah agar sekali sekali kita duduk bareng di teras depan rumah kos. Saya setuju atas saran Indah tersebut. Setuju, pertama karena memang belum pernah duduk-duduk bareng di taman depan rumah kos Indah yang asri, luas, dan indah. Banyak tempat duduk untuk bersantai, mungkin dulunya ini  didisain sebagai coffee shop. Kedua, karena menurut Indah, lingkungannya sangat pengertian, dalam arti tidak usil atau mengganggu, bahkan cenderung ramah sekali dan senang apabila area sekitar sini tidak nampak sepi.
Saya dan Indah sudah menempati tempat duduk di sudut dekat jalan masuk ke pintu samping rumah kos. Ada dua tempat duduk lain yang sudah diisi pasangan lain, kata Indah mereka teman Indah satu kantor, pacarnya juga satu kantor dengan Indah.
"Mas Bambang mau nggak malam ini kita diskusikan penyesalan Indah, maksudnya penyesalannya Indah?" Indah membuka percakapan sambil memegangi tangan saya dan memeriksa kebersihan kuku-kuku jari tangan saya. Saya biarkan Indah seperti guru TK yang sedang memeriksa kebersihan kuku muridnya.
"Penyesalan Indah yang mana, In?" Tanya saya kepada Indah sambil memandangi keseriusan Indah dalam memegangi tangan saya atau melihat kebersihan kuku jari tangan saya.
"Penyesalan terkait kacaunya nasib Indah akibat langsung menyetujui permintaan Ibu untuk menerima lamaran Mas Toni."
"O, yang itu ya, In?"
"Iya, Mas."
"Mestinya tidak harus disesali karena jalan takdirnya memang begitu. Tapi kalau mau dievaluasi, sebenarnya tidak ada yang salah, semua berlangsung secara manusiawi atau wajar, In."
"Mas Bambang kok bisa bilang begitu, alasannya apa, mas?" Indah nampak senang, mungkin karena ada kalimat saya yang menyebutkan bahwa tidak ada yang salah. Indah juga berubah mengelus-elus tangan saya. Mungkin karena semua kuku jari tangan saya sudah bersih semua.
"Alasannya begini, In. Pertama, Ibunya Indah tidak salah menerima lamaran Mas Toni. Kita tahu Indah anak tunggal, setelah lulus tidak pulang, sementara sebaya usia Indah umumnya di kampung sudah menikah dan punya anak. Seorang Ibu tentu ingin punya cucu yang lahir dari putri tunggalnya."
"Iya Mas Bambang, Indah bisa memaklumi apa yang diinginkan Ibu, dan Indah tidak menyalahkan Ibu, Mas. Tapi Indah menyalahkan diri Indah sendiri, Mas"
"Itu termasuk ke dalam bagian alasan yang kedua, In"
"Bagian alasan kedua tentang apa, Mas?"
"Tentang Indah yang juga tidak salah, In"
"Wah, Indah jadi senang nih, Mas...hehehe," sambil tersenyum Indah menciumi tangan saya.
"Oh ya, Mas Bambang, sebelum dilanjut..sebentar Indah ambilkan minum dan camilan dulu, Mas," Indah beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil minuman dan camilan di kamar kosnya. Tak berselang lama Indah sudah kembali duduk bareng dengan minuman dan camilan yang sudah siap di depan saya. Indah membukakan gelas minuman dan memasang sedotannya, kemudian diminumkannya ke mulut saya. Demikian pula dengan camilannya, kemudian disuapkannya ke mulut saya. Setelah itu baru, diri Indah sendiri minum dan makan camilan. Terkait kejadian Indah menyuapi saya ini, saya berkomentar, "Hemmm...salut saya sama Indah. Penerima tamu yang baik ya yang bisa  memperlakukan tamunya seperti ini...hihihi."
Indah langsung tanggap dan dengan cepat membalas, " Ini khusus untuk Mas Bambang....dengan tamu yang lain, Indah bersumpah tidak pernah dan tidak akan pernah mau melakukannya, kecuali untuk Mas Bambang tercinta." Indah sedikit merajuk, sedikit marah bercampur manja.
"Seratus prosen saya percaya, In....please jangan dimasukkan ke hati..cuma canda saja tadi, In."
"Candanya Mas Bambang sambil ngetes atau nguji Indah, pasti"
Biar rasa kesal dan marahnya Indah tak berkepanjangan, saya ambil tangan Indah dan saya ajak bersalaman, sambil saya mengucapkan minta maaf dengan tulus ke Indah. Alhamdulillah wajah Indah kembali ceria.
"Lanjut lagi ya Mas Bambang, bagian alasan yang kedua tadi."
"Saya lanjutkan lagi ya, In. Begini, In, Indah tidak salah, sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, patuh kepada orang tua itu tidak salah, bahkan harus, In, apalagi kondisinya saat itu belum ada kepastian pernyataan cinta dari saya. Dan bisa jadi yang salah adalah saya, In"
"Loh, kenapa jadi Mas Bambang yang merasa bersalah?"
"Iya, In. Karena dalam kondisi yang mendesak seperti itu, ternyata saya tidak peka. Mungkin karena pada waktu itu saya takut tidak bisa membahagiakan Indah. Dan pada saat itu  saya ingin Indah dapat yang lebih baik dari saya."
"Enggak ah, Mas...menurut Indah, Mas Bambang tidak bersalah. Mas Bambang...Indah sayang banget sama Mas Bambang. Indah juga cinta banget sama Mas Bambang"
"Saya juga sayang dan cinta banget sama Indah"
"Kalau Mas Toni bagaimana? Menurut Mas Bambang, Mas Toni salah nggak, Mas?"
"Kalau menurut saya...hemmm..tapi jangan marah ya, In?...ini sekedar pendapat saya apa adanya secara netral"
"Nggak Mas, Indah nggak bakalan marah," sambil Indah menciumi tangan saya, mungkin dengan mencium tangan tersebut untuk menunjukkan bahwa Indah tidak akan marah.
"Mas Toni juga tidak salah, In,...karena punya hak sebagai suami yang ingin memiliki keturunan dari Indah, namun itu tidak bisa dia lakukan karena Indah masih terhalang rasa cinta yang sangat besar ke saya."
"Lalu kesimpulan dari semua alasan tadi apa ya Mas Bambang?"
"Kesimpulannya ya seperti yang saya ucapkan di awal tadi, In, Â yaitu tidak ada yang salah."
"Tidak ada yang salah tapi kok menyisakan masalah ya, Mas?"
" Iya, In. Itu sebagai kewajaran yang timbul akibat dari perbedaan kepentingan yang tidak bisa disatukan. Jadi saran saya, jalani saja serta selesaikan masalahnya dengan sabar, In."
"Iya, Mas Bambang, Indah akan menyelesaikan masalah tersebut dengan sabar."
"Alhamdulillah, In, karena sudah agak larut malam, saya pamit pulang dulu ya, In?"
"Iya, Mas Bambang," sambil Indah mendekatkan keningnya ke hadapan saya, sebagai tanda bahwa Indah minta dicium keningnya. Biar tidak mengecewakan permintaannya, saya turuti untuk mencium kening Indah, sambil di dalam hati saya berdoa, semoga Indah ditakdirkan sebagai pendamping hidup saya selama-lamanya.
(penyesalan indah, 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang  Penyesalan Indah. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Menyentuh Indah
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Kematian Indah
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Kesucian Indah
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!