Sekelebat Cerpen | Bayangan Indah
Sebenarnya tidak hanya Indah yang membayangkan ini. Saya pun juga membayangkannya. Membayangkan bangunan rumah tangga kami. Saya sebagai suami dan Indah sebagai istri. Juga membayangkan seandainya nanti Indah mengandung anak saya yang pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya.
Pernah suatu ketika Indah menanyakan kepada saya tentang jumlah anak yang saya inginkan.
"Mas Bambang, nanti kalau kita berumah tangga, kira-kira berapa anak yang Mas Bambang inginkan?" Indah bertanya sambil menahan tawa, karena mungkin terasa lucu menanyakan hal demikian, sementara kasusnya masih belum selesai.
"Minimal lima anak, In." Saya jawab sambil menunggu reaksi raut wajah Indah setelah mendengar jawaban saya tersebut.
"Wauw banyak sekali...hehehe," Â Pertahanan rasa ingin tertawa Indah akhirnya jebol. Indah tertawa lepas. Saya pun ikutan tertawa.
"Semoga Indah rela mengandung anak saya yang nantinya berjumlah banyak."
"Dengan Mas Bambang, saya rela memenuhi keinginan Mas Bambang. Sekarang pun saya rela, Mas Bambang."
"Iya, In. Ditahan dulu kerelaan Indah sampai hubungan kita resmi sah ya, In?"
"Iya, Mas Bambang."
Pada kesempatan yang lain, Indah juga pernah menanyakan kepada saya terkait peran Indah sebagai Ibu rumah tangga dikaitkan dengan pekerjaan Indah di kantor.
"Mas Bambang, kalau nanti Indah sudah resmi sah sebagai istrinya Mas Bambang, apa yang diinginkan Mas Bambang terkait kelanjutan pekerjaan Indah di kantor?. Apakah Indah harus resign biar bisa secara penuh atau fulltime mengurusi rumah tangga?"
"Kalau keinginan dari Indah sendiri bagaimana?"
"Indah ingin merintis usaha kecil-kecilan yang bisa dikelola dari rumah, Mas. Sehingga bisa membantu untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga, sekaligus bisa mendidik anak-anak dan mengikuti perkembangan anak-anak."
"Ide yang sangat bagus itu, In, Â dan saya sangat setuju sekali. Tapi?...."
"Tapi apa, Mas Bambang?...hehehe." Indah tertawa mungkin karena saya suka ngasih tebak-tebakan dengan menggunakan kata "tapi?" kemudian berhenti.
"Tapi, kalau misalnya full sebagai ibu rumah tangga tanpa harus mengurusi bisnis, saya juga tidak apa-apa, In. Karena tugas sebagai suami memang harus yang memberikan nafkah."
"Tapi?...., " Gantian Indah sekarang yang ngasih tebak-tebakan dengan kata yang sama yaitu "tapi?" kemudian diam berhenti.
"Tapi, apa, In?"
"Tapi kalau Indah secara ikhlas ingin membantu mencari nafkah, apakah Mas Bambang mengijinkan Indah?"
"Iya, In, saya mengijinkan. Tapi ingat ya In, Â prioritas utama kita adalah mendidik anak-anak, membentuk budi pekerti anak-anak dan seterusnya agar anak-anak kita berakhlak mulia serta memiliki keahlian yang cukup buat bekal hidup mereka kelak."
"iya, Mas"
Bayangan indah atau bayangan yang indah lainnya lagi juga pernah kami berdua bicarakan dan diskusikan. Dengan harapan kelak jika saya dan Indah sudah benar-benar resmi sebagai suami-istri, bayangan-bayangan indah tadi tinggal direalisasikan atau diwujudkan.
(bayangan indah, 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang  Bayangan Indah. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Saran Indah
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Kepulangan Indah
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Tangisan Indah
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!