Sekelebat Cerpen | Tidak (2)
Ada orang yang masuk ke Kampung Puisi.
Mondar-mandir kelihatan sedang bingung mencari.
Dia seorang wanita berjalan kaki sendiri tak ada yang menemani, sambil menggendong buntalan bekal di punggungnya.
Karena merasa kasihan, saya (seorang warga kampung puisi yang menyebut dirinya dengan "saya") mencoba menghentikan langkahnya dengan bertanya.
" Maaf Ibu, Â apakah ada yang bisa saya bantu ?".
Ibu tadi berhenti dan menanggapi pertanyaan saya dengan sedikit terbersit memancarkan aura gembira di wajahnya.
" Mencari alamat rumahnya Pak La dan Pak Na'am, Pak."
" Rumahnya Pak La di Utara, Bu. Kalau Pak Na'am di Selatan. Kalau Ibu berkenan, mari saya antarkan, Bu.".
" Dengan senang hati dan berterima kasih sekali Pak, kalau bapak mau mengantarkan saya."
" Monggo, Bu...ke rumah siapa dulu yang akan kita tuju, Bu?"
" Bebas, Pak ....yang penting hari ini saya bisa sowan ke rumah beliau berdua."
Dengan sepeda motor saya boncengkan seorang wanita yang saya belum menanyakan siapa namanya, hanya dengan kata "Ibu" saja saya memanggilnya; saya antarkan beliau menuju ke utara, yaitu ke alamatnya Pak La.
Sampai di depan rumahnya Pak La, saya menunggu di sepeda motor dan beliau terlihat sudah ditemui oleh Pak La dan disuruh masuk.
Saya sengaja tak ikut menemani sampai ke dalam karena barangkali ada sesuatu yang mungkin sangat pribadi permasalahannya dan tak baik bagi saya pabila ikut mendengarkannya.
Kurang lebih satu jam, kemudian dia keluar menuju ke arah saya, sambil berkata: " Terima kasih Pak sudah berkenan menunggu lama."
" Iya, Bu, sekarang kita langsung menuju ke rumahnya Pak Na'am ya Bu?"
" Iya Pak,...hemmm...maaf ya Pak, Â saya jadi merepotkan bapak."
" Oh tidak apa-apa, Bu. Saya senang bisa mengantarkan Ibu."
Di tengah perjalanan dia bercerita yang sedikit mengagetkan saya. Kaget bukan karena tiba-tiba mendengar suaranya, tapi kaget mendengarkan tema ceritanya. Kendaraan saya pelankan jalannya agar bisa mendengarkan dengan seksama di tengah suara deru motor satu-satunya yang kebetulan melewati jalan kecil yang sepi.
" Saya mau berpisah dengan suami saya, Pak."
Saya hanya diam tidak mengomentari.
" Saya sudah sampaikan ke Pak La dan beliau tidak setuju."
Saya mendengarkan tapi tidak ingin menyela untuk mengomentari.
" Kata beliau, apapun perlakuan suamimu, tetap pertahankan. Padahal saya sudah tidak tahan. Tidak kuat lagi dan sepertinya hidup bersama yang kami jalani sudah tidak bisa dipertahankan. Hanya menimbulkan dosa saja kalau setiap harinya selalu diajak bertengkar."
Saya diam tidak mengomentari karena tidak mengetahui informasi yang sebenarnya dari kedua sisi yaitu dari sisi dia dan dari sisi suaminya.
" Bapak kok diam saja."
" Maaf Bu, ini sudah sampai di depan rumahnya Pak Na'am."
Dia bergegas turun dan pamit menuju pintu rumahnya Pak Na'am.
Sama dengan sebelumnya, saya menunggu di sepeda motor. Selang satu jam, dia keluar dari rumahnya Pak Na'am dengan wajah cerah tanda bahagia.
Nah, di sini saya mulai bertanya duluan. " Kok kelihatan gembira Bu...ada apakah kalau boleh tahu?"
" Alhamdulillah Pak, beliau setuju kalau saya berpisah."
" Lalu bagaimana dengan sarannya Pak La, Bu?"
Sekarang ganti dia yang diam tidak menjawab.
Pak La tidak setuju kalau dia berpisah dengan suaminya, sedangkan Pak Na'am setuju kalau dia berpisah dengan suaminya. Pendapat dan saran siapakah yang sebaiknya harus diikuti?
Lantas apakah gunanya jauh-jauh dia datang ke Kampung Puisi, jika hasilnya harus diputuskan oleh diri sendiri?
(tidak (2), 2024)
Sekelebat cerpen ini dirangkai dengan cara singkat dan sangat sederhana untuk menceritakan tentang Tidak (2). Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Tidak (1)
Baca juga: Sekelebat Cerpen: Sudah Dicoba Belum Diuji
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!