Monolog 9: Pencarian
Fia, anakku, suatu saat, kau sendiri perlu melakukan pencarian, walau hakekat pencarian itu sebenarnya tidak ada.
Karena semua sudah tersedia padamu, pada jiwamu, pada perjumpaanmu, pada kesunyianmu.
Tapi bukan pada kerinduanmu.
Kerinduanmulah yang memaksa membawa kesadaranmu untuk mencari.
Kerinduanlah yang memaksa realitas jantung dan hatimu untuk merasa kehilangan,
dan oleh karenanya, kamu terdorong untuk mencari.
Fia, dengan diam tanpa mencari, engkau tidak akan lelah.
Engkau harus lelah dalam gerak.
Dengan lelah engkau akan berhasil menidurkan kesadaranmu.
Disitulah kelak engkau akan menemukan.
Menemukan apa yang selama ini mestinya tidak engkau cari.Â
Tapi tanpa engkau melelapkan kesadaranmu, engkau akan merasa kehilangan,
dan tidak yakin akan menemukan.
Anakku, puisi-puisi yang ayah ciptakan di bawah ini, renungkanlah :
Â
Jalasutra
: dari Ngadisari ke Bromo jam nol-nol.
Ku ketuk pintu demi pintu , ku buka jendela demi jendela
Angin segar malam menyelinap di bawah atap
Sembunyikan gelisah, bekukan perjalanan gemintang
Siapa menjaring kupu-kupu, merebut warnanya ?
Tak hendak memanggil siapa yang masih mendaki bukit.
Sebutir pasir yang tergenggam bisu bersama yang menggenggam.
Siapa menari kobarkan unggun, mencari-cari apinya ?
Memeluk gigil kuncup melati
( seseorang menghirup dupa, dan Aku menghirup orangnya)
Di depan unggun, sejuta yang membuka tiga pintu dunia
Mencumbu satu di dalam satu
Berteriak ! :
Duka siapa membentang selebar dunia
Jala siapa menjaring dosa dengan karma ?
(bromo, hari kasada )
Â
dunia satu
di tengah keramaian pasar
ku dengar pikuk keributan
orang orang berebut
waktu
daging
tulang
dan darah.
dunia dua
ketika api menjalari seluruh sumbu lilin yang terbakar
ku menduga dunia ‘kan terbakar.dan.
kita musna menyala-nyala.
kota bumi
yang dipagari dinding, batu, dan pintu
yang setiap langkahmu terbentur-bentur tembok
yang selalu mencari angin lubang jendela ke matahari
ziarah