Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - (Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog 5: Kematian

30 Mei 2021   19:00 Diperbarui: 30 Mei 2021   19:14 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Monolog 5: Kematian

Jika suatu saat realitas dunia ini harus kita tinggalkan, maka hakekatnya adalah bukan dunianya yang kita tinggalkan, melainkan kesadaran kita, anakku. Perjumpaanmu adalah tetap abadi.
Jika suatu saat engkau harus berpisah denganku, atau dengan ibumu, atau berpisah denganku dan ibumu, maka kenangan lah yang tetap engkau bawa. Ingatlah, anakku, bahwa kenangan adalah sosok kesadaran yang masih berbasis medium ruang-waktu.

Ketika ruang-waktumu tidak mungkin lagi mempertemukanku dalam alam real-semu duniawi ini,  maka bahasa orang bumi mengatakan kematian. Menurut mereka, kematian adalah awal keserentakan totalitas perpisahan. Ada yang mengatakan kiamat kecil. Tapi bagiku, anakku, bukanlah itu hakekatnya. Hakekat kematian adalah hilangnya distorsi perjumpaan akibat selimut kabut kesadaran realitas dunia. Jadi, anakku, hakekatnya tetap bertumpu pada hakekat perjumpaan itu.

Anakku, Filasafia Marsya Ma'rifat, seandainya kelak, engkau memang harus menangisi sesuatu yang bernama kematian, itu bisa ayah maklumi, karena sekarang memang engkau masih belum mampu meninggalkan cara pandang kesadaranmu itu. Masih ingatkah tentang puisi ayahmu yang berjudul Padang Kematian ? Disana lah belenggu kesadaran ayahmu telah mencapai klimaks, sehingga kesedihan ayahmu pun memuncak. Tapi, apakah realitas kesedihan itu abadi ? Tidak, anakku, karena realitas kesedihan adalah realitas garis yang memiliki saat mulai, dan saat berakhir. Tinggal kini terserah engkau anakku, bagaimana cara engkau memandang kematian itu.

Fia, anakku, cara untuk mengetahui tentang realitas kematian, tidaklah sama dengan cara untuk mengetahui tentang hakekat kematian. Jika engkau ingin mengetahui  tentang realitas kematian, maka engkau haruslah mengetahui dahulu tentang realitas suka, duka, takut, khawatir, serta realitas sakit. Sedang jika engkau ingin mengetahui tentang hakekat kematian (tidak sama dengan realitas kematian ), maka engkau haruslah mengetahui dahulu tentang hakekat suka, duka, takut, khawatir, serta hakekat sakit.

Fia, anakku, ayah cukupkan sampai disini dulu pembicaraan kita tentang kematian. Selanjutnya, engkau harus berlatih dan belajar sendiri untuk memahaminya. Saran ayah,  berlatihlah dengan cara menggunakan alat kejujuranmu itu, ketika engkau ingin mengetahui tentang segala hal.   Pertama, berlatihlah merasakan, berlatihlah merenungkan,  berlatihlah mencermati, dan berlatihlah membuktikan hingga engkau sendiri  yakin bahwa dengan alat kejujuranmu itu engkau sudah menemukan tentang segala hal yang ingin engkau ketahui itu. Terakhir, jadikanlah ini bekal untuk anak-anakmu atau cucu-cucuku kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun