siletmu di sudut tajuk
geliat melesat pergi
ingsunku belum mabuk
di atap ijuk
nantikan sejuk
pada panah katamu
kuterpuruk takluk
sepuluh panahmu
beruntun  melesat kemari
kembali
kepada pemegang busurnya
yang dahulu
pernah mematahkan besi
menyalakan api di ujung kilatnya
akhirnya
sepuluh rasa siletmu  terdesak  pergi
duapuluh siletmu
menebasi kili-kili
berdenting
gemerincing
serak menghentak
kadang pelan sekali
seolah berhenti  lalu
bergerak menghentak lagi
dan tiba-tiba semua sudah
tertidur nyenyak bersama sejarah
tujuh kali siletmu kelilingi
gubuk-gubuk napas pinggir kali
berminyak  sebanyak petromak
berisik cekikik sedahsat musik
semakin diusik
cinta  memekik
pijarkan pernak-pernik
janji klasik
sepuluh siletmu melesat kemari
mencari serpihan bayangmu
yang tlah berkarat di kabel-kabel lampu
tiga puluh satu siletmu melesat kemari
nusuki senyummu sebujur kaku
mentembaga
punggungmu
melobangi rindu
antara gardu
dan
kabel-kabel lampu
menjaga
menjalarnya karat
di dinding baja kita
katamu
semua tlah bertemu
meski tak mengaku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H