Belum terhapus segala yang pernah kulukis
Jemarimu selalu saja ikut menyeduhkan segelas gelisahku
Juga memporandakan
tumpukan rinduku  yang telah rapi berlapis
Itu tak kugubris, asal riangmu  tak habis habis
Di hamparan senyap gemintang
kulihat engkau sedang memanggang waktu
bersama langkah angin
yang telah menerbangkan cadarmu
Wajahmu yang termenung selalu juga mengganggu
iringan mendung di gemuruh kibasan rambutmu
"Aku tak hendak menimba gerimis", kataku
"Dari sumur langitmu yang bercucuran tangis".
Mungkin kini derasnya tengah  kemari
Menggandeng  hujan  sampai pagi
Sambil berlari  engkau menyentuhi
Daun daun yang senantiasa berdesis
Sampai langkah nafasmu hampir habis
Mungkin kini jejaknya akan kembali
Mengaduk bimbangku
kedalam bejana embun yang pecah di batu
Melipat  langkahmu
seusai diamku  mengaduh:
"dik, aku rindu saat kau menangkap kupu
kau sodorkan padaku luka di tangan kirimu
tergores duri karena ulah lucumu".
Katamu, "angin telah mengajak kita masuk kedalam buih
yang tumpah dari secangkir kopi
yang kau sorongkan ke tepi sedih"
Dan aku menjawab, "salah  sendiri gandakan pedih
karena di lembah dilema ini  pasti tersisih
siapa  mau lalui jalan setapakmu yang  berujung buntu
terantuk kering kembang kecewa layu".
Â
Di sarangnya angin ini,
kuyakin tak ada suara lagi
dari basah rona bibirmu
Hanya badai saja
yang selalu sibuk menutupkan jendela
Berkali kali gemerisiknya seolah iseng menghitung tala
Setelah seharian menangkupkan atap genting tanah
Kedalam bingkisan galau jengah
Dan engkau selalu saja tak pernah menyerah
Tak sisakan waktuku buat singgah
dari gurauanmu yang merekah
Lalu sambil mengikuti langkah angin itu
Sembari  tersenyum engkau buka pengikatmu
mengantarkan rahasiamu, menggiring kepulanganku
Katamu: "hanya disini ini tempatmu istirah
maka cepatlah taburkan selaksa bijih badaimu
ke lorong terdalam dingin sejarah".
Anginpun kemudian mempercepat langkah
menidurkan benih benih  kecambah
Rebah  bersama rasa yang tak pernah
Terkunci di dalam terumbu diammu terengah
Dan aku pun bertanya: "Kemanakah  berhentinya angin melangkah".
Lalu tergopoh engkau
menjinjing  nestapaku yang membuncah
Melesatkan panah duka nelangsa
Ke semua arah gundah
Semua mengapa bertingkah
Saat kesunyian bisukan gairah
Dan tanganmu yang lunglai
Tak mampu menggapai ufuk kabut putih
di seberang fatamorgana
yang tak jauh
dari jatuhnya ujung bayangmu
Duh sedihku!, ternyata engkau hanya
bisa menyentuh sekapas dukana
dari separuh tangismu
yang kian tak bersuara
Hilang bersama langkah angin kenangan
Lenyap ditelan keriangan kita
Dan,
kini engkau entah dimana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H