(soreang ngalangkang)di jalak harupat kulipat-empatkan kacidasonohayangku
tuk memutari sorenya soreang sareng anjeun
berjalan di sepanjang bekas rel tua
terbenam bersama semilir  angin
langit gunung bandung selatan
nyusuri guratan wajahmu
yang nempel di dedauan
merunduk di bebatuan
di remang soreang kurantangkan reumbay cimatareangmu
kacidasonohayangku mekarkan  bunga melati layu
menghidupkan bolam-bolam lampu
menghentikan putaran waktu
di daki kaki resahku
engkau istirahkan
kebisuanmu
selayang pandang sorenya soreang membayang datangnya malam
ada bulan melayang di sangga  temaram kunang-kunang
gantikan letihnya mentari keringkan baju purba nurani
perjalanan kitapun sunyi baru dimulai sembunyi
nutupi jendela mimpi yang tak terkunci
unggun nyala belum mati
kabut cepat sekali kerumun kemari
seperempat duka tercecer  dalam  bara bakaran jagung
dan kita terus menghitung gemintang yang menggelantungÂ
sempat kauucapkan bahwa perjalanan kita tak perlu diteruskan
tak ada loko kereta mau menggendong derita senja kelana
tak ada angkota hijau muda mau mengangkut jejak keranda
jika malam ini kita masih  tetap duduk  di pertigaan sepi
karena pasar malam pun  sudah tak bertikar lagi
yang ada hanyalah  tukang sulap di punggung kita
yang  sedang lelah  menyeka keringat tipu dayanya
di bawah tiang lampu kota  yang kuning nyalanya
dari lengangnya  soreang kulipatgandakan kacidasonohayangku
nuju kopo sayati hingga  engkau minta agar kita berhenti di sini
kutakbisa  dengarkan lagi suara hati karena hanya sekali sangsi
kutakhendak menaruh beratnya setia di beban pundak yang luka
dan engkau berkata lagi:"bams, perjalanan kita mengular naga
ku juga  tak sanggup keluarkan lara,
dari terali penjara kenangan indah  kita".
lalu engkau minta kembali gambarmu
yang sudah lima tahun lamanya kusimpan di dompet bututku ini
tapi tanaman perdu cintamu  telah terlanjur  menyebar membelukar
akar-akarnya saling  jalin menjalin - lilit membelit
di tali leher sukmaku di  jeruji nadi hatimu
dari soreang sampai  di kopo sayati  ada sakit  menggigiti hati
bukan dari akibat saling menyakiti, tapi  karena saling mencintai
dan, Â aku hanya bisa merintih perih bertanya lirih:
"rhei, mengapa kisah cintaku selalu berakhir begini  ?".
tak ada sauran bisik jawabmu selain  menggigilnya hati
dari balik kelambu jendela rumahmu
engkau lambaikan tanganmu
oh, samar  kumelihati hatimu kuyu
mengapa diburami  kabut isakan tangismu ?
tuk memutari sorenya soreang sareng anjeun
berjalan di sepanjang bekas rel tua
terbenam bersama semilir  angin
langit gunung bandung selatan
nyusuri guratan wajahmu
yang nempel di dedauan
merunduk di bebatuan
kacidasonohayangku mekarkan  bunga melati layu
menghidupkan bolam-bolam lampu
menghentikan putaran waktu
di daki kaki resahku
engkau istirahkan
kebisuanmu
ada bulan melayang di sangga  temaram kunang-kunang
gantikan letihnya mentari keringkan baju purba nurani
perjalanan kitapun sunyi baru dimulai sembunyi
nutupi jendela mimpi yang tak terkunci
unggun nyala belum mati
kabut cepat sekali kerumun kemari
seperempat duka tercecer  dalam  bara bakaran jagung
dan kita terus menghitung gemintang yang menggelantungÂ
tak ada loko kereta mau menggendong derita senja kelana
tak ada angkota hijau muda mau mengangkut jejak keranda
jika malam ini kita masih  tetap duduk  di pertigaan sepi
karena pasar malam pun  sudah tak bertikar lagi
yang ada hanyalah  tukang sulap di punggung kita
yang  sedang lelah  menyeka keringat tipu dayanya
di bawah tiang lampu kota  yang kuning nyalanya
nuju kopo sayati hingga  engkau minta agar kita berhenti di sini
kutakbisa  dengarkan lagi suara hati karena hanya sekali sangsi
kutakhendak menaruh beratnya setia di beban pundak yang luka
dan engkau berkata lagi:"bams, perjalanan kita mengular naga
ku juga  tak sanggup keluarkan lara,
dari terali penjara kenangan indah  kita".
lalu engkau minta kembali gambarmu
yang sudah lima tahun lamanya kusimpan di dompet bututku ini
tapi tanaman perdu cintamu  telah terlanjur  menyebar membelukar
akar-akarnya saling  jalin menjalin - lilit membelit
di tali leher sukmaku di  jeruji nadi hatimu
dari soreang sampai  di kopo sayati  ada sakit  menggigiti hati
bukan dari akibat saling menyakiti, tapi  karena saling mencintai
dan, Â aku hanya bisa merintih perih bertanya lirih:
"rhei, mengapa kisah cintaku selalu berakhir begini  ?".
tak ada sauran bisik jawabmu selain  menggigilnya hati
dari balik kelambu jendela rumahmu
engkau lambaikan tanganmu
oh, samar  kumelihati hatimu kuyu
mengapa diburami  kabut isakan tangismu ?
(Smile 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H