(lima belas abad tak terbaca)
tengah malam engkau datang menjemputku
sambil bawakan sekaleng roti dan sepasang sepatu
dengan tanganmnu yang lembut itu
engkau dulang ke mulutku
dengan berbantalkan beningnya pahamu
engkau eratkan tali sepatuku
agar aku mau membaca isi suratmu
yang tlah engkau kirimkan untukku
selama  lima belas abad yang lalu
dan, Â akupun mengerang tidak mau
tadi malam engkau datang lagi
sambil bawakan sekaleng roti
dan segelang arloji
dengan mulutmu yang wangi
engkau makan sendiri
dengan merebahkan diri
engkau lepaskan jarumnya arloji
ke dadamu yang sunyi
agar aku sudi
mendengar waktumu berbunyi
yang tlah engkau atur sendiri
setiap  lima belas abad sekali
dan, Â akupun menggeram tidak sudi
lantas engkau pergi membanting diri
keluhkan perjalanan yang jauh sekali
lima belas abad menanti
sedihnya berakhir begini
setelah engkau memercikkan malammu
sekelebat kilat bayanganmu menyambar
kelambu kelam sampiran genderang rinduku
alarm segelang arlojimu serasa berdering
di dasar sumur ulu hatiku
mengerang
menggeram
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H