Â
    Seorang tua sedang duduk termenung memandangi segala sesuatu yang terjadi di luar jendela. Hujan menambah suasana rindu dalam hatinya. Rindu akan masa lalunya yang benar-benar telah berlalu. Hilang dan tak bisa kembali. Suasana itu bila lama-lama ia bayangkan, seolah menjadi semacam belati yang mengiris-iris ulu hatinya. Ia tak tahu. Yang jelas sekarang ia tengah merasakannya.
    Mengingat usianya yang telah lanjut, ia nampaknya optimis bahwa keadaan semacam itu akan segera berakhir seiring dengan kepergiannya kelak meninggalkan dunia yang wajar ini. Setidak-tidaknya apabila ia tidak keliru menafsirkan dunia ini. Yaitu dunia yang dibatasi oleh awal dan akhir; sementara didalamnya penuh berjejal-jejal ketidakpastian. Ketidakpastian. Menurut dia kita terus menerus dipaksanya untuk menelan mentah-mentah aksioma itu. Aksioma yang menerangkan kepada kita akan ketidakberdayaan kita--ketidakberdayaan kita dalam menghadapi nasib dan takdir -- bahkan ketidakberdayaan untuk memenuhi harapan-harapannya sendiri, rencana-rencana, program-program, algoritma-algoritma, dan lain-lain. Termasuk ketidakberdayaan atas ketidakberdayaan itu sendiri. Entahlah......seraya ia menarik nafas panjang. Nafas yang sempat masih bisa dia nikmati hari ini. Walaupun tarikan nafasnya itu ia maksudkan untuk mewakili suatu pengertian akan ketidakberdayaannya itu.
    Di luar, hujan belum menunjukkan tanda-tanda hendak berhenti sebagaimana degup jantungnya juga belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, walaupun degup itu telah lama menemaninya sejak ia lahir ke dunia ini. Ia semakin merasakan bahwa dirinya ternyata adalah sendiri, ketika ia sadar bahwa rumah yang ia diami selama ini adalah rumah kosong; dalam arti yang sebenarnya: Tanpa ia berada didalamnya !!!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H