Mohon tunggu...
Bambang Syairudin
Bambang Syairudin Mohon Tunggu... Dosen - (Belajar Mendengarkan Pembacaan Puisi) yang Dibacakan tanpa Kudu Berapi-Api tanpa Kudu Memeras Hati

========================================== Bambang Syairudin (Bams), Dosen ITS ========================================== Kilas Balik 2023, Alhamdulillah PERINGKAT #1 dari ±4,7 Juta Akun Kompasiana ==========================================

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Kosong

14 Maret 2021   16:16 Diperbarui: 23 April 2021   00:36 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi merupakan dokumen karya pribadi (Karya Bambang Syairudin)

       

        Seorang tua sedang duduk termenung memandangi segala sesuatu yang terjadi di luar jendela. Hujan menambah suasana rindu dalam hatinya. Rindu akan masa lalunya yang benar-benar telah berlalu. Hilang dan tak bisa kembali. Suasana itu bila lama-lama ia bayangkan, seolah menjadi semacam belati yang mengiris-iris ulu hatinya. Ia tak tahu. Yang jelas sekarang ia tengah merasakannya.

       Mengingat usianya yang telah lanjut, ia nampaknya optimis bahwa keadaan semacam itu akan segera berakhir seiring dengan kepergiannya kelak meninggalkan dunia yang wajar ini. Setidak-tidaknya apabila ia tidak keliru menafsirkan dunia ini. Yaitu dunia yang dibatasi oleh awal dan akhir; sementara didalamnya penuh berjejal-jejal ketidakpastian. Ketidakpastian. Menurut dia kita terus menerus dipaksanya untuk menelan mentah-mentah aksioma itu. Aksioma yang menerangkan kepada kita akan ketidakberdayaan kita--ketidakberdayaan kita dalam menghadapi nasib dan takdir -- bahkan ketidakberdayaan untuk memenuhi harapan-harapannya sendiri, rencana-rencana, program-program, algoritma-algoritma, dan lain-lain. Termasuk ketidakberdayaan atas ketidakberdayaan itu sendiri. Entahlah......seraya ia menarik nafas panjang. Nafas yang sempat masih bisa dia nikmati hari ini. Walaupun tarikan nafasnya itu ia maksudkan untuk mewakili suatu pengertian akan ketidakberdayaannya itu.

       Di luar, hujan belum menunjukkan tanda-tanda hendak berhenti sebagaimana degup jantungnya juga belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, walaupun degup itu telah lama menemaninya sejak ia lahir ke dunia ini. Ia semakin merasakan bahwa dirinya ternyata adalah sendiri, ketika ia sadar bahwa rumah yang ia diami selama ini adalah rumah kosong; dalam arti yang sebenarnya: Tanpa ia berada didalamnya !!!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun