Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Urip Iku Urup

21 Oktober 2022   05:02 Diperbarui: 21 Oktober 2022   05:10 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungai dangkal itu mudah meluap. Jika banjir, dampak kerakusan jadi terlihat. Lalu  dikatakan bencana. Padahal kita sedang panen perbuatan jahat. Memperkosa alam teramat sangat.

Itu sudah menjadi kebiasaan. Mengatas namakan status penuh kemuliaan. Tapi praktiknya kebalikan.

Lebih mudah menebang, daripada menanam. Alam dijadikan objek kepuasan. Banjir hanyalah urusan resapan. Lalu membiarkan tanah yang menyelesaikan.

Alam tidak bertopeng. Tapi selalu diperlakukan demi citra topeng. Hidup dibuat seakan berdegup. Lalu lebih tertarik untuk mendengarkan detak puncak, tinimbang menerangi lingkungan, demi kelestarian semesta alam. "Urip tan urup". Hidup hanyalah menyebabkan kegelapan.

Topeng Cirebonan pun termangu. Ia melihat kiprah nyata kemunafikan terhadap anugrah alam itu.

Apakah patut meninggalkan beban untuk anak cucu ? Itu nanti akan menjadi saksi bisu. Jika suatu saat nanti terjadi ketidakseimbangan. Lebih banyak keburukan, dibanding kebaikan.

Beban itu jika disunggi di atas kepala, jadi penyebab pening. Kalau diambil alih oleh bahu, hanya sebentar saja mampu. 

Saat sekitar tak lagi bahu membahu, berlakulah hukum kerusakan, yang memusnahkan secara pelan-pelan. "Non scholae sid vitae discismus. Nora gelem maneh nyinaoni urip, supaya bisa urup". Belajarlah tentang kelimpah ruahan alam, agar hidup semakin tenteram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun