Anjing dan kucing, katanya saling membenci. Kentara sekali, saat berebut tulang. Sepertinya sedang berjuang hingga titik darah penghabisan. Mereka merasa sedang menang.
Saat membenci, seluruh jiwa raga dikuasai emosi. Terkadang muak, sering kali mual. Rajin mengamati segala hal. Selalu gemas dan geregetan. Itu modal untuk menyemai ujaran kebencian.
Tentu saja objeknya lebih banyak bukan pasangan serumah. Kalau yang ini sih, terpaksa harus ramah.Â
Jelang pemilu, ujaran kebencian semakin marak. Seperti beternak, insan tak berbenak rajin berteriak. Membodohkan orang lain, memintarkan diri sendiri.Â
Belukar kini telah berubah menjadi rimba raya. Auman dan cericit makin ramai saja. Hilang satu tumbuh seribu.
Kebanyakan dari mereka suka berbicara tanpa guna. Merasa berkawan, untuk bersama melawan. Mirip mantra seadanya, Â sekedar membuktikan bahwa para pembenci itu masih ada.Â
Barangkali ini termasuk ranah tebar pesona. Mengamati siapa yang melakukan, bukan apa yang dilakukan. "Dudu sapane, nanging apane. Non quis, sed quid".
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H