Warna dan aroma, itu andalannya puspa. Mampu menjadi pengganti kata. Di saat cinta mau pun duka.Â
Dalam jagad peribahasa, bunga angin jadi pertanda. Puting beliung kan tiba. Demikian pula bunga api. Percikannya bisa jadi awal dari kobaran yang mengerikan sekali.
Tetapi katakanlah tidak untuk bunga hati. Di saat datang, membawa aroma mewangi. Jika pun pergi, akan disesali.Â
Di saat genting, yang dipetik hanyalah bunga mulut. Badai kata keji menghampiri. Kesalahan kecil menjadi awal menuju akhir yang disesali.
Membaca bunga tangkai berduri, menantang sekali. Walau telah disentuh hati-hati, masih mampu melukai. Menduga hati, sulit sekali.
Sebenarnya mereka tak bisa berkata apa-apa. Tetapi karena telanjur dijadikan lambang, kadang mampu mencerminkan perasaan. Cobalah dirawat sepenuh hati. Mereka pasti tahu diri. Tiada membedakan lagi tangan halus atau kasar. Wangi bunganya "angambar-ambar".
Citra diri itu seperti aroma juga. Bisa asli, atau dibuatkan tiruan. Saat diharum-harumkan, sayup-sayup seperti "kembang rawat-rawat". Baunya segar menyengat, tetapi dihembuskan secara tidak terhormat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H