Kala terakhir kita bertemu, terasa lelah setelah beradu ketajaman lidah. Saat itu suasana hati amatlah galau. Berdua sedang kehilangan kata ikhlas yang bernas.
Enggan mendengarkan curahan hati. Masing-masing malah mengobarkan cemburu hati. Tiada lagi rasa merindu wajah. Padahal kita dahulu gampang  sekali senyum sumringah.
Tidak semua rasa layak dikatakan. Bahasa itu menurut saja. Halus atau kasar, tergantung kadar galau gelisah. Di musim yang enggan menghujan ini cuaca sedang tidak bersahabat. Masalah kecil bisa menjadi kebakaran hebat.
Dulu kita yakin sebagai pasangan yang tidak mudah berpisah. Tapi kok saat ini gampang sekali goyah. Tangan bergenggam dilepaskan. Tanda ketidak cocokan mengedepan.
Proses percintaan kita sebenarnya tidak terlalu rumit. Banyak dibantu oleh pengertian yang memudahkan, tinimbang memilih yang sulit-sulit. Senyum diranumkan. Kita berjanji untuk panen manis bersama.
Tetapi ada petir di luar musim penghujan. Kita teramat peka terhadap celaan dan pujian. Lalu ada tanda-tanda keretakan hubungan. Kini malah merembet jadi kebakaran.
Hakikatnya cinta itu saling memiliki. "Katresnan iku ati kang nyawiji. Sak jane padha dene kepengin anduweni. Amor sceleratus habendi". Cinta sangat mungkin mengabadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H