Wayang itu perlambang. Dalam satu kotak, melambangkan karakter yang berlainan. Kulit belulangnya seolah mencerminkan watak bawaan dan nasib. Mungkin mirip keputusan Zeus dalam mitologi Yunani. Atau sabda  Jupiter dalam mitologi Romawi. Sedangkan wayang, ada pakem dan ketertundukan juga.
Setiap figur wayang seolah membawa takdir dan peruntungan sendiri-sendiri. Terjadi, sebagaimana telah terjadi.
Seperti mekarnya bunga Wijayakusuma di tengah malam. Di gelap malam gulita, diam-diam menebarkan kecantikan. Bagi pengagumnya, tak ada motif untuk memperindah kabar dari rupa. Itu juga sah-sah saja.
Watak ksatria pun begitu. Mestinya ada jejak impresi yang sangat membekas. Tidak sekedar "tinggal glanggang colong playu". Inginnya selalu menang, namun tidak didukung oleh jejak dalam berperilaku.
Berwatak ksatria pasti memiliki bibit keluhuran budi atau kemuliaan atau jalal. Walau menyandang nama itu, belum tentu yang bersangkutan telah menghayatinya.Â
Ternyata watak ksatria itu tidak hanya dicerminkan oleh jabatan yang disandangnya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H