Gunung sebenarnya merasa tabu, manakala dijadikan lambang keberhasilan yang menghalalkan segala cara. Itu bukan lambang aktualisasi diri. Lebih mencerminkan puncak kesombongan tinggi.
Puncaknya memang terkesan menyentuh langit. Lalu mengaku mereka bukan lagi gelembung buih. Merasa seperti huruf besar yang congkak. Lalu menuliskannya di atas riak air yang dulu pernah dilakukannya.Â
Seisi bumi didikte. Karena penyaksiannya dari atas gunung, mereka merasa bisa hidup makmur, hingga tak perlu berbaur.
Dilihat dari kejauhan, gunung tinggi itu berpuncak putih. Sosoknya gagah bercahaya. Nyaris bebas dari prasangka maupun citra. Lalu terbayangkan, bahwa sebenarnya di sana ada mata air yang sangat bijaksana.
Memang, jika sudah berada di puncak gunung, bisa jadi hati ini mudah "trenyuh" tersentuh. Lalu merasa hening, makin menghayati hal-hal yang penting.
Gunung itu tahu diri. Tak pernah berusaha mempertinggi kewibawaan hanya dengan gengsi. Selalu ada kebijakan yang patut dijalani. Merasa tak pernah terkekang, walau sudah tinggi menjulang. Tapi ternyata martabatnya dirusak sendiri : "Laesa malestas". Baru menyesal setelah itu melintas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI