Pertengahan Agustus, hujan masih merintik saja. Bunga tergeletak di pangkuan daun. Dikepung kata meskipun. Bunga melayang jatuh, seperti mudah disentuh. Kita pun pasrah, tidak mudah mengaduh.
Bunga yang tadinya layu, berbalik kembang. Saat sedang kembang, sedap dipandang. Tapi setelah layu, segera dibuang. Rasanya seperti bermusim tunggal. Setelah penghujan, penghujan lagi. Hati pun pasrah.
Tinggal dua kata, yaitu kalau dan walau. Kalau hujan lagi, dan walau tiada kemarau lagi. Seperti pagi yang sedang gandrung mengunduh sepi.
Burung tidak kelihatan bergerombol sarapan pagi. Kusebar beras berkali-kali, tetapi tetap saja sepi. Langit sedang hamil tua. Kabel kawat bersilangan, menghias langit yang mulai renta.
Hujan di bulan Agustus ini tercampur hawa panas. "Lir udan kethek -  jawah  - tumiba saka awang-awang".
Guguran bunga, jatuh di pelukan daun keladi. Sepertinya mereka mensyukuri, dan yakin, tak lama lagi mentari bersinar kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H