Langit terkesan cerah, walau tadi pagi gerimis ringan lagi. Ritmis tercampur suara tangis. Kemarin ada tanda perpisahan berkali-kali.
Di saat sedang resah, biji kepasrahan berangsur pecah. Ia mendekat ke sumber mata air kesabaran dan kepasrahan. Barangkali seteguk dua teguk cukuplah sudah, untuk mengobati rasa gundah. Saat berpaling sebentar, biji kesabaran mulai tumbuh tidak meliar.
Besuk pagi ingin jumpa angin semilir di pesisir. Berkehendak menyaksikan proses hilangnya buih saat diterpa angin. Terkesan buih itu tak pernah ada. Padahal ia lama mengada.
Khasanah diri pribadi sering hilang seperti buih. Di sana tersimpan kumpulan kesan yang paling  menyakitkan dan membahagiakan ketika sendiri atau berpasangan.
Ingin rasanya tetap gagah berdiri. "Ngadeg ing pucuking gunung, gujengan srengenge wulan". Ternyata alam sangatlah paham proses menjadi sedih yang berkepanjangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H