Menyelam di kedalaman samudera kehidupan, sedang mencari nasib yang berbayang. Perburuan maknawi itu dulu sudah dimulai melalui mitologi.
Perlambang pun diyakini mulai benderang. Awalnya bak memilin benang kehidupan. Kemudian benang itu diikat jadi anyaman. Tetapi setelah itu malah dipotong saat perburuan kenyamanan. Itulah nasib atau takdir seseorang.
Jika jiwa sedang terasa kosong, diri ini makin asing. Terjadi benturan cahaya yang menyilaukan. Tapi ruang kosong itu makin luas adanya.
Garis hidup selanjutnya dipercaya makin menghunjam dalam. Seolah awal hingga akhir berlangsung tetap, tidak mungkin berubah. Takdir kodrati telanjur dipercaya sedari lahir hingga mati.
"Tinggalen wae, angen-angen kang wus mungkur." Bacalah doa serta usaha untuk mengubah yang mungkin masih bisa diubah. Tuhan itu Maha Mengerti. "Deus humanissimus".
Dengan menyelami hakikat kehidupan, jiwa ini masih mampu berdegup. Nasib bukanlah pembatas, tapi malah mendorong agar mampu hidup bebas. Dengan kesadaran bahwa ambisi itu memang berbatas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI