Merasakan desir pasir di pantai selatan. Gunung Kidul tak lagi gersang gundul. Ini perjalanan, yang tidak menyerah pada tanda baca. Titik masih mungkin diubah menjadi koma.
Hidup mengandalkan koma, agar perjalanannya lebih bermakna. Â Saat jatuh dan bangun, tidak perlu menyangatkan rasa "ngungun". Kita hakikatnya insan pilihan. Sesekali hati mungkin saja tertawan.
Ternyata masih banyak keraguan. Mencari satu titik, yang mampu dijadikan tempat bersandar. Jika di sana bersemi rasa percaya, barangkali itu bisa lagi mengawal cinta kita berdua.
Tetapi heran, justru sekarang muncul tanda-tanda perpisahan. Tadinya kompak ke utara, tiba-tiba ada yang berbalik arah ke selatan.
Doa malam berharap untuk menyatu, tetapi ada saja sisa-sisa ragu.
Saat kita ke pantai Gunung Kidul dulu, sering bertemu dengan nuansa biru. Â Awan putih di atas, melayang ditelan oleh riak air dan pasir. Pipimu merah, pertanda "bungah" yang berdesir.
Kita sengaja membangun istana pasir. Kala ombak menerjang, cinta mulai ingin hanyut, entah ke mana. Saat ada gejolak hati untuk membangun kembali, berlalu terkendala waktu.
Adakah tanda asa ? Katanya kau akan kembali pulang. Sedangkan aku menerawangi masa depan. Masih tetap berharap, untuk tetap berdebur di sepanjang umurÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H