Dhuh rembulanku, kini tak moblong lagi, berangsur padam. Nanti kembali, slalu tidak berjanji, purnama sunyi. Seperti hati, padam dan nyala, jadi siklus biasa.
Saat melaut, mengais rizki halal, pasti tak kalut. Menyambung hidup, anak istri menunggu, tak pernah ragu.
Berpikir sederhana, "urip prasaja, ngadohi neka-neka". Itu pun mengenyangkan, terlalu kenyang, malah tak nyaman. Beda dengan kuasa, tak pernah kenyang, sepanjang masa.
Rembulan itu, menjadi pengingatku, bab kekosongan. Lapar kuasa, mengejar simbul status, hingga tiada. Tapi melaut, sederhana yang cukup, tidak berebut.
Dalam kesederhanaan, yang mengenyangkan, tak berlebihan. Rasa syukur pun, mampu melimpah, sangat bergizi hikmah. Memangsa kawan, tidak diperbolehkan, pamali nian.
Dhuh rembulanku, aku pun sangat malu, masih begitu. Lapang dan sempit, pastilah ada, menghiasi dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H